Sebuah kisah klasik yang banyak orangpun
mengetahuinya, kisah cinta sederhana yang tidak bisa dipersatukan. Agama,
adalah satu satunya pihak yang memiliki tanggung jawab besar untuk itu. Sebuah
mimpi dan harapan yang terbangun dengan indah, tidak akan lagy bisa berdiri
kokoh jika agama sebagai tiang kehidupan tidak ditegakkan juga.
Aku berjalan lagi menyusuri taman kota yang
biasa kami gunakan untuk sekedar bersenda gurau. Aku baru saja bertemu
dengannya. Seorang yang tak terlalu tinggi, mungkin hampir sama denganku,
dengan perawakan yang kurus namun berotot. Wajahnya manis, semanis setiap kata
yang meluncur dari bibirnya. Semanis bibirnya yang terkena batang rokok setiap
harinya.
Untuk kesekian kali aku bertemu dengannya,
hanya sekedar untuk mencairkan suasana setelah dingin yang selalu menyelimuti
hubungan kami. Dia selalu berubah dingin setelah kami bertemu, seakan
menunjukkan pada dunia kalau sudah tak ada lagi apapun diantara kami.
Dia mengajakku bertemu lagi sore ini, mungkin
terlalu banyak yang kami simpan selama empat bulan terakhir selama kami seakan
tak saling mengenal. Dia lebih tepatnya, yang membuat suasana seakan aku adalah
orang asing baginya meski dalam lingkup kerja yang sama.
Aku duduk di bangku tempat kami biasa bercengkrama,
sambil menatap langit dan awan yang terarak, aku menghela napas panjang. Entah
kenapa perlu persiapan mental yang cukup merepotkan ketika aku harus bertemu
dengannya, padahal disisi lain aku sudah mempunyai calon pendamping hidup.
“sudah lama menunggu?”. Aku terkaget ketika
suara khas itu menggema di dalam telingaku.
“ohh.... tidak juga.. duduklah..” kataku
sambil menepuk bangku disebelahku dan langsung diikuti olehnya.
“cuaca yang begitu indah.... hahaha. Aroma
alam yang luar biasa.” Katanya sambil memejamkan mata menghirup aroma alam.
“yaaa...ya..... betapa kau sangat menyukai
alam....”kataku datar. Aku menundukkan kepala melihat rumput yang
bergoyang-goyang diterpa angin yang semilir. Dingin.
Tiba tiba dia memelukku, mendekatkan tubuhku
pada tubuhnya yang selalu terasa hangat dan harum. Bahkan aku bisa mencium
aromanya dari jarak beberapa langkah dariku. Aroma khas tubuhnya yang membuat
air mataku mulai membendung.
“udaranya dingin meski musim panas. Apa kabar
pacarmu?”
“Baik... masih sibuk dengan pekerjaannya
diluar kota, mungkin akan pulang dalam sebulan kedepan.”
“aku masih sering merasa merindukanmu. Maafkan
aku.” Katanya tanpa melihatku sedikitpun.
“aku lebih merindukanmu.... terkadang ada
sepenggal harapan yang tersisa ketika kulihat hanya sebatas namamu.” Air mataku
sudah tak bisa terbendung lagi, aku menunduk membiarkan air mataku tumpah
begitu saja.
“apa yang bisa kau harapkan dariku? Kisah yang
tak berakhir dengan bahagia lagi? Atau harapan yang tak mungkin terwujud?”
jawabnya telak
Sial. Aku tak pernah bisa mengalahkan perkataannya. Dia selalu bisa
membuatku terdiam tanpa bisa melawan.
“aku masih mengharapkan akhir yang bahagia
disamping akhir yang penuh kesedihan ini.”
“apa yang bisa kau harapkan?”
“harapan ketika aku bisa masuk dalam sedikit
saja bagian hidupmu, menjadi apapun dalam hidupmu. Aku tahu itu akan sulit,
karena itu aku tak pernah mengharapkannya terlalu berlebihan.” Aku menyandarkan
kepalaku pada pundaknya. Pundak yang selalu siaga kapanpun aku membutuhkannya,
pundak yang selalu bisa menjadi tempatku bersandar.
“aku terlalu familiar dengan aroma tubuhmu,
jadi jangan mencoba untuk menjauh dariku, karena dengan aroma tubuhmu yang
masih sangat jelas bisa kucium malah akan menambah rasa sakit hatiku ketika kau
berlagak tidak ada apa-apa dan memilih untuk menghidar daripada menghadapi
dengan wajar.”
Dia memelukku, erat sekali... sama persis
ketika pertama kali kami memutuskan untuk menjalani jalan yang sama.
Kami bercerita panjang lebar, mulai dari
mengenang kisah kami, sampai cerita kami yang berakhir dengan akhir yang
menyedihkan. Entah apa yang aku rasakan, rasa cinta yang tak lagi sama, rasa
sayang yang tak lagi sama padanya meski aku masih merasakan hal bernama rasa
sayang. Ada sedikit rasa bimbang dalam hatiku, mendapati diriku sendiri yang
pergi tanpa sepengetahuan calon pendamping hidupku untuk menemui serpihan kisah
masa laluku.
Malam itu gejolak muncul kembali ketika aku
mendapat kabar dimana aku digabungkan menjadi satu tim dengannya dalam suatu
acara, ujian mental lagi untukku, ujian keprofesionalan dimana aku harus
menjadi seorang rekan kerjanya, bukan mantan pacarnya.
Menjadi satu dalam satu tim yang sama akan
membuatku semakin mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dan membuatku semakin
ingin berada di dekatnya, bersamanya. Gejolak mulai muncul sejak hari itu, dan
aku belum tahu akan bagaimana hatiku kelak ketika semua acara sudah mulai dilaksanakan.
Sewaktu pulang aku membeli sebuah balon
berwarna biru, ku kaitkan selembar kertas kecil bertuliskan harapanku padanya
dulu. Kuterbangkan, dan kubiarkan langit menangkap dan membacanya. Mungkin
Tuhan akan diberitahu akan hal itu.
“masih ada sedikit harapan untuk mempunyai
pasangan hidup dari etnis dan tempat yang berbeda, namun melihatnya berubah
menjadi seorang mualaf adalah hal yang tak mungkin. Bahagiakan dirinya,
bahagiakan dirinya di depan mataku Tuhan. Agar aku bisa dengan lega membiarkan
impianku terbang dan merelakannya.”
Kuterbangkan balon biru itu tanpa kupandang
lagi kemana arahnya. Biar angin yang menentukan kemana dia akan pergi.
-kembalilah padaku dengan pesan dari Tuhan
yang akan mengabulkan permohonanku.-
Hatiku kembali bergejolak, ketika terkadang
waktu harapan itu datang dengan tiba-tiba, berbentrokan dengan kenyataan bahwa
harapan untuk bersamanya adalah mustahil. Air mata terkadang menetes tanpa
sebab, ketika bayangan dirinya berkelebat dalam benak. Kata ‘seandainya’ tak mau
mengalah pada apapun didepannya. Membuatku merasa begitu tak berdaya.
Seandainya kita bisa bersama. Aku akan sangat merasa Bahagia. Sosok abadi.