Menentukan pilihan pendamping hidup tidak semudah menentukan
baju mana yang akan kita pakai hari ini. menentukan pilihan hidup artinya
sedang membicarakan mengenai seluruh kehidupanmu, membicarakan hidup dan
matimu, dan berbicara mengenai pasangan tulang rusukmu.
********
“kau tidak ikut masuk Faa??” kata kak Nur pada Assyifa.
“tidak kak, aku titip bungan dan buku ini saja. Aku hanya
minta tolong agar memastikan dia membacanya nanti.” Assifa membalas dengan
senyuman.
Assyifa terlihat sangat cantik hari ini, dia memakai dress
tosca dengan paduan boleronya, dipadu padankan dengan kerudung tosca yang lebih
cerah. Wajahnya yang berseri membuat setiap orang mempu bertahan untuk
melihatnya lebih dari 5 menit. Syifa, panggilan akrab dari Assyifa Andining
Sukma, perempuan dengan tinggi 162 cm dengan wajah keturunan blasteran jawa dan
sulawesi yang manis. Wajahnya bersih dan terlihat cantik meski tak banyak
make-up yang dia gunakan.
Dia memberi salam kepada kak Nur dan segera pergi dari
gedung itu. Tersenyum manis sebelum senyum itu menghilang sepenuhnya dari
wajahya. Sudah 2 tahun ini Syifa tidak berkomunikasi dengan Alex, terakhir dia
berkomunikasi adalah saat Assyifa bertengkar dengannya.
Itu cerita yang sangat panjang. Saat itu Syifa memiliki
seorang pacar, tapi hubungannya dengan Alex juga berjalan sangat dekat, sampai
pada akhirnya, pacar Syifa tidak direstui oleh kedua orang tuanya dan
memutuskan untuk mengakhirinya. Disamping itu, saat terakhir Syifa bertemu
dengan kekasihnya, dia tidak mengatakannya kepada Alex dan mengingkari janji
yang dia buat, sehingga membuat Alex begitu marah kepadanya.
“Anggap saja aku kakakmu saat ini.” kalimat terakhir yang
akhirnya membuat Assyifa mengehntikan harapannya untuk bisa bersama Alex dengan
restu dari kedua orang tuanya. Dan sekarang, Alex sudah menyelesaikan pekerjaan
yang dulu pernah dibangunnya bersama temannya, dia sedang menghadiri sebuah
grand opening dari perumahan yang dia bangun. Assyifa mengentahuinya dari kak
Nur, dan memutuskan untuk mulai mencoba bertemu dengannya lagi. Assyifa baru
memiliki keberanian untuk memberika buku itu saat ini, setelah berhasil bertemu
dengan kak Nur setelah sebulan menetap di Makassar.
Syifa kembali meneruskan pekerjaannya dengan diam. Berharap
semua akan baik baik saja. Dia sudah menyerahkan semuanya pada Tuhannya, dia
tak ingin memikirkannya terlalu dalam, sekarang dia sudah bekerja, menuruti
nasehat Alex dulu yang menyarankannya untuk memulai karirnya di Sulawesi.
************
Malam menjelang, jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 5
sore waktu makassar, dia bergegas mebereskan barang barangnya dan pergi ke
Al-Markaz. Dia suka kesana dan meminta ijin untuk menuju puncak Al-Markaz.
Tempat dimana dia bisa melihat pemandangan indah kota Makassar dan jgua tempat
dia bisa menyendiri. Sudah empat kali ini dia selalu pergi ke puncak menara, tapi
dia tak pernah sekalipun bertemu dengan Syid di Al Markaz, padahal dulu ini
adalah tempat dia beristirahat. Ada perumahan kecil yang dibangun di dalam area
Al Markaz, disana dia biasanya menginap. Tapi setiap hari Syifa kesini dan
tidak menemukan sosok Alex.
Gema adzan mebengung di telinganya, Syifa segera turun dan
bukannya masuk ke dalam Al Markaz, dia malah pergi ke pantai Losari. Disana ada
sebuah masjid yang dikenal dengan masjid terapung, memiliki dua tingkat yang
dimana tingkat kedua bisa digunakan untuk melihat pemandangan anjungan Losari.
Syifa beribadah disana, dan tiba tiba mendengar suara yang dia kenal, dia
bertahan disana, mendengarkan setiap kata yang dilantunkan seseorang di depan
mimbar. Alex. Tanpa berkedip Syifa menatap laki-laki yang tak lebih tinggi
darinya itu. Dengan style khasnya menggunakan sorban di lehernya. Menyuarakan
pesan-pesan Allah. Tanpa sadar, air mata turun dari pelupuk matanya, akhirnya
dia menemukannya. Sudah cukup baginya untuk bisa menatapnya saja, tanpa harus
berbicara dengannya.
“kamu kenapa ji?” tanya seorang tua di samping Syifa, dia
khawatir melihat Syifa yang tiba-tiba menangis.
“tidak apa-apa, maaf boleh tau siapa yang berbicara di
depan? Ceramahnya sangat menyentuh, saya hanya terharu mendengarnya.” Alasan
Syifa.
“namanya Alex Elmander. Dia biasa dipanggil Alex disini.
Sering bertugas juga di masjid ini, dan sering memberikan ceramah rohani. Kalau
kau ingin belajar mengaji atau bertanya hal hal yang berhubungan dengan agama
kau bisa menemuinya. Dia sangat sopan dan juga sangat membaur.” Terang ibu
berusia berkisar 40 tahun itu. Sementara Syifa hanya mengangguk dan tersenyum.
Sesuatu melilit perut Syifa, yang membuat Syifa harus segera
bergegas merapihkan rukuhnya. Dia segera berlari ke kamar mandi dan menhabiskan
waktu hampir 10 menit disana. Dia bisa mendengar ceramah diakhiri dengan salam
ketika dia baru saja masuk ke kamar mandi.
Begitu keluar, sudah banyak jamaah yang bergerombol keluar
dari masjid, Syifa mencoba menerobos masuk, tapi begitu melihat kedalam,
harapannya sirna saat tak ada sosok yang dia cari lagi. Syifa berjalan pelan
menaiki lantai 2, menatap kearah laut yang lepas, entah karena dingin atau
karena apa, air matanya kembali menetes. Tak ada orang di lantai atas, para
jamaah memilih untuk pergi kebawah dan mendengarkan tausiah.
Isak pelan terdengar diantara lantunan ayat suci yang
dibacakan orang-orang dilantai satu. Syifa tak kuasa menahan rindu yang masih
dia pendam sejak 2 tahun yang lalu. Perasaan yang sudah dia kurung sekarang
memaksa untuk keluar. Cinta yang dia pertahankan entah akan dia buang jauh jauh
atau akan dia semikan disini.
“ya Allah. Buang perasaan cinta yang berlebihan dalam hatiku
jika memang bukan dia imam keluargaku.” Do’a Syifa sambil menatap keluar
jendela.
“menangislah sekuat yang kau inginkan nak, air matamu akan
membuatmu merasa lebih lega.”
Seseorang mengagetkan Syifa, seorang kakek berusia sekitar
akhir 60 tahun berjalan perlahan. Membuat Syifa segera menyeka air matanya dan
tersenyum sendu.
“hanya sebuah kerinduan yang belum menghilang pak ustadz.
Tak pernah dirawat tapi tetap tumbuh dengan baik.” Alasan Syifa sambil
mengikuti ustadz yag dia kenal di bandara saat dia berangkat untuk interview
dulu. Ustadz Ibnu, panggilan akrab orang yang dikenal sangat humble ini.
“mau mendengarkan cerita saya?” tanya Ustadz Ibnu sambil
duduk du dekat jendela. Syifa mengangguk mengiyakan.
**************
Syifa turun dari lantai dua bersama Ustadz Ibnu dengan wajah
yang lebih berseri, hatinya lebih tenang setelah mendengar cerita Ustadz. Dia
tahu apa yang harus dia lakukan, meskipun tahu jika hasilnya itu menyakitkan
dia tak akan bisa dengan mudah menghilangkannya.
-cinta itu datang dari
Allah, sakit.pasti jika tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, tapi apa
yang bisa kita lakukan? Cinta tak pernah memaksa karena cinta itu ikhlas. Jika
kamu terhindar dari takdir yang kau ingin ciptakan, maka Allah sudah menyiapkan
takdir yang lebih pantas untuk kau tempuh.-
Intinya bila cinta itu memang ikhlas, maka apapun hasilnya,
jika Allah menghendaki kami bersama, maka kami akan bersatu bagaimanapun
caranya. Dan bila kami tidak diridhoi bersama, maka perasaan ini akan tetap
tersenyum dengan lepas saat melihat satu sama lain bahagia.
Itulah yang diyakini Syifa saat ini, meski dia tahu
perasaannya begitu besar pada Alex, tapi dia tak bisa memaksakan apapun pada
keadaan ini.
***********
7 hari berlalu setelah terakhir kali Syifa melihat Alex.
Syifa sudah mengunjungi semua masjid yang beberapa tahun lalu pernah dia
inginkan untuk datangi, dan sekarang dia kembali ke masjid apung, tempat dimana
semua akan berakhir, setiap Syifa pergi kemanapun, dia pasti akan menyempatkan kembali
ke masjid apung. Kembali ke tempat paling ujung yang berlawanan dari masjid
apung, jajaran huruf yang ditata apik membentuk sebuah kata. Mandar. Suku dari
orang yang dia cintai.
Syifa duduk di huruf A... bersandar sambil menatap laut
lepas, pantai losari, atau yang lebih dikenal dengan anjungan Losari masih
dipadati orang-orang, namun disudut ini tidak terlalu banyak yang tertarik. 3
nama suku Sulawesi yang paling terkenal adalah Toraja, sehingga posisinya di
suku Mandar tak terlalu terusik.
“bisakah kami berfoto disini dulu, mungkin adek bisa pindah
dari kata-kata mandar ini sebentar?” kata seseorang dari balik patung huruf
itu, membuat Syifa langsung terloncat dan meminta maaf.
“iya... maaf... saya akan pindah....” Syifa segera mengambil
tasnya yang ia letakkan di sampingnya, dan berhenti bergerak ketika melihat
siapa yang sedang berdiri diatas tulisan Mandar dengan wajahnya yang diterangi
cahaya rembulan.
“kak Alex?”
Alex melompat dari atas tangga dan turun tepat di samping
Syifa.
“hai.....” sapanya sambil membenahkan rambutnya.
“hai...” jawab Syifa kaku.
Dingin masih menyelimuti mereka meskipun obrolan sudah
berjalan hampir 30 menit. Masih sama-sama canggung setelah 2 tahun tak tahu
kabari masing-masing. Dingin mulai mencair saat mereka memutuskan untuk
menikmati pisang epe yang dijual di pinggir jalan pantai Losari. Setelah
menikmati pisang epe, mereka kembali ke masjid apung untuk melaksanakan shalat
Isya’ dan berhenti di jembatan masjid apung untuk sekedar menikmati pemandangan
malam dan bercengkrama melepas rindu.
“aku dengar kau sudah bekerja disini?” tanya Alex disela
candanya.
“yaa... alhamdulillah...... direspon dengan sangat cepat,
ingat bapak bapak yang aku kenal di bandara dua tahun lalu? Beliau membantuku
mencarikan rumah sakit yang aku targetkan. Kebetulan aku juga bertemu dengan
Ustadz Ibnu yang juga membantuku.”
“syukurlah.... benarkan kalau kau lebih baik memulai karir
disini?”
“yaa....” Syifa tersenyum dan mengangguk. “ouhhh...
bagaimana kabarmu kak? Baikkah?? Keluarga? Karir?” tanyanya dengan gayanya yang
khas, begitu ceria dan bersemangat, hal itu ditaggapi dengan tertawa renyah
dari Alex.
“kau masih tetap seperti ini, berapa usiamu? 24? Tapi masih
se-alay ini. kabarku sangat baik, karirku berjalan baik meski beberapa kali ada
guncangan, alhamdulillah keluargaku juga sehat.”
“hei... jangan membicarakan masalah usia, kakak jauh lebih
tua daripada aku, aku yang harusnya tanya sama kakak, kakak kapan menikah.”
Tanya Syifa dengan tertawa terbahak-bahak, merasa sangat menang telak dengan Alex.
Tapi semua berbalik saat Alex menjawab.
“ouh..... jangan salah, aku baru saja melamar.” Jawabnya
dengan gayanya yang sok keren.
Bukannya membuat lelucon, malah membuat suasana hening
seketika. Tawa Syifa terhenti diganti dengan kebisuan. 30 detik penuh Syifa
terdiam, lalu tersadar saat Alex mulai merasa Syifa tak merespon jawabannya.
“ouh.... benarkah?? Kapan??” jawab Syifa terburu-buru.
“beberapa hari lalu. Mungkin 5 hari yang lalu. Aku akan
kesana lagi dan membawa beberapa syarat lamaran.”
“oh..... waw..... great.... congrats ya.... hmmm...... aku
akan menunggu undangan itu, aku sudah di makassar sekarang, jadi pasti aku akan
datang. Meskipun aku pas berada di jawa, aku pasti akan datang sejauh apapun
tempatnya. Aku akan bawa kado istimewa untu kalian. Yaa....” Syifa menepuk
pundak Alex dengan pasti, sambil tersenyum dan tertawa tersendat.
**************
“harapan. Keinginan
yang begitu kuat dirasakan dalam diri seseorang. Diperjuangkan dengan tingkah
laku, dan di percayakan dengan do’a. Siapa yang tahu kapan harapan akan
terwujud, ataupun akan sirna. Jiwa yang tenang adalah jiwa mereka yang ikhlas,
begitu sulit, tapi memang begitu seharusnya.”