Ya...
seperti inilah yang kuharapkan. Hujan pertama yang menyapaku. Entah kenapa,
hatiku terasa begitu lega. Seakan beban ikut luntur bersama air hujan yang
mengalir. Mungkin akan terasa seperti kekanak-kanakan jika kukatakan aku menari
dibawah derasnya hujan. Namun secara ajaib, hal itu membuatku merasa tenang.
Secangkir
teh panas menemaniku menikmati hujan dari balik jendela, faforit. Ohh.. bukan,
bukan ini yang menjadi faforitku, ini faforitnya. Kalau aku suka menikmati
hujan dengan bermain dengannya, dia berbeda, dia memang sama-sama menyukai
hujan sepertiku. Namun dia menyukai hujan dari balik jendela, ruang tengah
adalah tempat yang paling dia sukai, dia sengaja mendesain rumahnya agar
mempunyai jendela yang lebar dengan kursi kayu panjang yang akan semakin
membuatnya nyaman. Dia menyukai teh, sementara aku, lebih suka dengan coklat
panas, namun kali ini aku ingin bertukar.
Kami
menikmati setiap hal yang terjadi, suara hujan yang mengenai atap, tanah dan
benda lain. Kami menyukai pemandangan ketika hujan membasahi semua benda yang
ada dihalaman. Warna langit yang semula kelabu, lalu berubah cerah ketika hujan
berhenti, bau hujan yang khas, kepulan asap tipis minuman panas kami, dan suara
burung-burung yang mungkin juga ikut menari bersama hujan. Dan percayalah, kami
bisa merasakan datangnya hujan. Setelah selesai menari bersama hujan dan mandi
dengan air hangat, kursi panjang itu menjadi tempat ternyaman untuk
membicarakan berbagai hal dengannya. Meski tak terlalu panjang, setidaknya
cukup untuk kami berdua duduk berhadapan dengan kaki sedikit tertekuk.
Dimeja
kecil itu secangkir coklat panas tak tersentuh sedikitpun, kepulan asapnya
menghilang dan kehangatannya juga turut menghilang bersama hujan yang akhirnya
mereda.
“kenapa
tak kau habiskan coklatmu Faya?”
“aku
sedang bertukar dengan Rio, Buu....”
Ibu
hanya tersenyum masam. Bukan ibuku. Tapi ibu Rio.
KRIIINNGGG....
Aku
menatap layar diponselku. Aku ragu untuk beberapa detik sebelum menjawabnya.
“haloo....”
jawabku malas. “hai... aku mencium bau hujan.. apa kau merindukanku?”tanya
orang yang ada diseberang telepon.
“yaa..
aku rindu memukul kepalamu. Bagaimana kau bisa mencium bau hujan, kau saja
tidak berada di Indonesia.”
“siapa
bilang...... aku turun di Indonesia bersama tetes hujan. Lihatlah keluar”
Aku
sontak melihat keluar jendela dan menemukan Rio ditengah taman. Aku beranjak
dari kursiku, dan berlari keluar, menyambut seseorang yang telah lama hilang
dari peredaran hidupku.
Lima menit berlalu, Rio berbenah diri dan
akhirnya duduk disampingku. Pemandangan setelah hujan adalah pemandangan
terbaik.
“jadi...
berapa hari kau akan di Indonesia? Kemana jadwalmu selanjutnya?” tanyaku
penasaran. Sudah lima tahun ini Rio tak menginjakkan kaki di negaranya sendiri,
dia selalu mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Sebagai arsitek handal, memang
tak diragukan jika dia diminta keluar negeri hanya untuk membuatkan orang lain
tempat berteduh.
“aku
bosan keluar negeri. Aku keluar dari perusahaan, dan bergabung dengan
perusahaan lokal. Aku kehilangan hujanku, aku kehilangan tenangku. Aku ingin
mencium dan merasakan aroma hujan seperti dulu. Bersama orang spesial yang
mempunyai kebiasaan seperti anak-anak yang suka menari ditengah hujan meski
usianya sudah diawali angka 2... aku ingin bersamanya. Selamanya.” Rio mengatakan
kalimat terakhir dengan lirih. Hampir terdengar seperti hembusan angin
ditelingaku.
Aku
tersenyum. Yaa.... 5 tahun aku terpisah dengannya. Setiap hujan akan datang,
aku selalu kerumahnya, menikmati hujan sendirian. Tapi setelah ini. Semua akan
kembali seperti sedia kala. Aku akan menikmati hujan bersamanya. Selamanya.
Rio
menarik napas panjang. “ besok hujan akan datang lagi.” dia tersenyum padaku.
“kalau
begitu.. aku akan membawa sekotak coklat dan teh.” Aku ikut tersenyum.
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar