Kamis, 16 Februari 2017

Hujan Pertama

Ya... seperti inilah yang kuharapkan. Hujan pertama yang menyapaku. Entah kenapa, hatiku terasa begitu lega. Seakan beban ikut luntur bersama air hujan yang mengalir. Mungkin akan terasa seperti kekanak-kanakan jika kukatakan aku menari dibawah derasnya hujan. Namun secara ajaib, hal itu membuatku merasa tenang.
Secangkir teh panas menemaniku menikmati hujan dari balik jendela, faforit. Ohh.. bukan, bukan ini yang menjadi faforitku, ini faforitnya. Kalau aku suka menikmati hujan dengan bermain dengannya, dia berbeda, dia memang sama-sama menyukai hujan sepertiku. Namun dia menyukai hujan dari balik jendela, ruang tengah adalah tempat yang paling dia sukai, dia sengaja mendesain rumahnya agar mempunyai jendela yang lebar dengan kursi kayu panjang yang akan semakin membuatnya nyaman. Dia menyukai teh, sementara aku, lebih suka dengan coklat panas, namun kali ini aku ingin bertukar.
Kami menikmati setiap hal yang terjadi, suara hujan yang mengenai atap, tanah dan benda lain. Kami menyukai pemandangan ketika hujan membasahi semua benda yang ada dihalaman. Warna langit yang semula kelabu, lalu berubah cerah ketika hujan berhenti, bau hujan yang khas, kepulan asap tipis minuman panas kami, dan suara burung-burung yang mungkin juga ikut menari bersama hujan. Dan percayalah, kami bisa merasakan datangnya hujan. Setelah selesai menari bersama hujan dan mandi dengan air hangat, kursi panjang itu menjadi tempat ternyaman untuk membicarakan berbagai hal dengannya. Meski tak terlalu panjang, setidaknya cukup untuk kami berdua duduk berhadapan dengan kaki sedikit tertekuk.
Dimeja kecil itu secangkir coklat panas tak tersentuh sedikitpun, kepulan asapnya menghilang dan kehangatannya juga turut menghilang bersama hujan yang akhirnya mereda.
“kenapa tak kau habiskan coklatmu Faya?”
“aku sedang bertukar dengan Rio, Buu....”
Ibu hanya tersenyum masam. Bukan ibuku. Tapi ibu Rio.
KRIIINNGGG....
Aku menatap layar diponselku. Aku ragu untuk beberapa detik sebelum menjawabnya.
“haloo....” jawabku malas. “hai... aku mencium bau hujan.. apa kau merindukanku?”tanya orang yang ada diseberang telepon.
“yaa.. aku rindu memukul kepalamu. Bagaimana kau bisa mencium bau hujan, kau saja tidak berada di Indonesia.”
“siapa bilang...... aku turun di Indonesia bersama tetes hujan. Lihatlah keluar”
Aku sontak melihat keluar jendela dan menemukan Rio ditengah taman. Aku beranjak dari kursiku, dan berlari keluar, menyambut seseorang yang telah lama hilang dari peredaran hidupku.
 Lima menit berlalu, Rio berbenah diri dan akhirnya duduk disampingku. Pemandangan setelah hujan adalah pemandangan terbaik.
“jadi... berapa hari kau akan di Indonesia? Kemana jadwalmu selanjutnya?” tanyaku penasaran. Sudah lima tahun ini Rio tak menginjakkan kaki di negaranya sendiri, dia selalu mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Sebagai arsitek handal, memang tak diragukan jika dia diminta keluar negeri hanya untuk membuatkan orang lain tempat berteduh.
“aku bosan keluar negeri. Aku keluar dari perusahaan, dan bergabung dengan perusahaan lokal. Aku kehilangan hujanku, aku kehilangan tenangku. Aku ingin mencium dan merasakan aroma hujan seperti dulu. Bersama orang spesial yang mempunyai kebiasaan seperti anak-anak yang suka menari ditengah hujan meski usianya sudah diawali angka 2... aku ingin bersamanya. Selamanya.” Rio mengatakan kalimat terakhir dengan lirih. Hampir terdengar seperti hembusan angin ditelingaku.
Aku tersenyum. Yaa.... 5 tahun aku terpisah dengannya. Setiap hujan akan datang, aku selalu kerumahnya, menikmati hujan sendirian. Tapi setelah ini. Semua akan kembali seperti sedia kala. Aku akan menikmati hujan bersamanya. Selamanya.
Rio menarik napas panjang. “ besok hujan akan datang lagi.” dia tersenyum padaku.

“kalau begitu.. aku akan membawa sekotak coklat dan teh.” Aku ikut tersenyum.
End
google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar