Jumat, 07 September 2012

MAWAR PUTIH

Gadis itu selalu mengagumi tiap batang bunga yang terikat indah di dalam selembar plastik bening yang menebarkan aroma wangi yang menghangatkan suasana kamarnya yang terlihat sama. Membosankan. Tapi bunga-bunga yang telah dipindah ke dalam vas kaca berisi air agar bunganya tetap segar membuatnya tak pernah bosan menatap dan mencium semerbak harumnya. Karena bunga itu selalu berganti setiap pagi. Dengan warna dan jenis yang berbeda. Walau dia tau, kamar membosankan itu tak akan lama ia tinggali lagi, tembok putih dan cairan yang selalu menetes akan segera ia tinggalkan cepat atau lambat. Dia masih selalu bersyukur.
*******
Denting alarm jam bekernya kembali membuat matanya terbuka, walau sebenarnya masih terasa enggan untuk beranjak. Kemarin dia tak ada sift malam, namun kepala bidang meminta untuk membantunya, dan membuatnya harus tidur dini hari. Pekerjaan itu terkadang membuatnya letih, namun orang-orang yang selalu dilihatnya setiap hari membuatnya bersemangat beraktifitas kembali, seperti saat ini, membuatnya segera beranjak dan segera membersihkan diri.
Jas putihnya tergantung rapi di pintu lemari. Begadang bukan hal baru, atau bahkan tak tidur semalaman, juga tak jarang hal itu membuatnya tertidur dengan pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya. Rapi. Hal yang selalu membuatnya terlihat elegan, terkadang juga mengambil hati orang-orang yang ada disekitarnya.
Jas itu disampirkannya di tangan, dengan menggigit 2 lembar roti berisi selai strawberry favoritenya ditengahnya. Dia melenggang menuju mobil, pria yang membuatkan makanan untuknya tak pernah merasa keberatan, karena dia sangat tahu betul betapa sibuknya dia. Karena itu, sebagai wujud kasih sayangnya dia hanya bisa menyiapkan bekal yang selalu ditaruh terlebih dulu di dalam mobilnya.
Mobil itu melaju santai di tengah kota malang yang sudah ramai lalu lalang kendaraan. Mobilnya berhenti di sebuah toko mungil, dengan dekorasi cantik, seperti pemilik toko itu, namun sayangnya dia tak pernah akur dengan penjual toko itu. Keseringannya datang ke tempatnya berjualan, membuat pemilik toko itu tahu benar apa yang sedang dicari orang pria itu, dan tanpa berkata, sang pemilik toko hanya tersenyum dan menyuruhnya masuk.
“sampaikan salamku padanya, jangan lupa kartunya”. Pria itu menjawab singkat dan dan menyerahkan beberapa uang kertas. Usia pemilik toko itu tak beda jauh dengannya. Mereka bertemu saat bibi pria itu mengadakan acara pernikahan dan membuatnya sedikit berselisih paham dengan seorang wanita yang ternyata akan sering dia temui.
*******

Dia berjalan menyusuri koridor, lalu membuka pintu cokelat berkaca. Disana, senyum langsung mengembang bagai bunga yang mekar, merekah seakan tak ada apa-apa, ini memang bukan tugasnya, namun anak yang dia temui di taman membuatnya lebih bisa menghargai yang namanya hidup. “lain kali kau harus bawa dia kemari” katanya sambil membuka goresan tinta yang berbeda warna. Lagi.
*********
Rumahnya memang tak begitu mewah, sederhana namun terlihat elegan, namun demi apapun, siapapun yang datang ke rumahnya tak akan ada yang berkeinginan untuk segera beranjak pulang. Tak jarang teman-teman kerjanya sering berdiam di rumahnya untuk sekedar menikmati warna-warni rumahnya. Pekerjaannya sebagai arsitektur di kantor pamannya yang hanya berjarak 50 meter dari rumahnya, membuatnya tak begitu ribet dengan pekerjaannya. Pamannya juga tak keberatan dengan keadaannya yang juga bekerja di rumahnya. Karena dia selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dengan kesibukan yang bisa menyita waktunya seharian, dia masih sempat mengurusi bunga-bunganya yang seakan tak pernah layu itu. Pagi-pagi dia sudah terbangun, setelah menjalani ritual keagamaannya, dia bergegas menuju rumah bagian depan. Waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi dan dia juga sudah selesai sarapan. Dia membuka pintu etalase rumahnya dan berbagai warna-warni bunga menghiasi setiap sudut ruangan kecil itu. Wanita itu tinggal bersama seorang adiknya yang memang berprofesi sebagai desainer flower, sehingga saat dia tak ada, maka adiknyalah yang menunggu tokonya sekaligus menerima pesanan rangkaian ataupun desain bunga untuk berbagai acara. Hari ini, bunga-bunganya sudah hampir habis, dan tak berselang lama, seorang penyuply bunga datang untuk memenuhi kembali ruangan itu. Wanita itu, menata bunga-bunganya dan mengambil beberapa jenis bunga untuk di rangkai menjadi sebuket bunga dan ia letakkan di meja kasir. Wanita itu sudah bersiap untuk pergi ke kantor ketika adiknya datang ke tokonya. Wanita itu berpamitan, lalu segera beranjak pergi. Tak berselang lama setelah dia pergi, terdengar suara berdecit dari mobil sedan yang berhenti di depan tokonya. Adiknya lalu tersenyum dan langsung mengambil buket bunga yang tadi telah di rangkai oleh kakaknya. Pria itu menerima buket bunganya dan memberi beberapa lembar uang kertas kepada adik wanita itu.
********
Lagu Frente-bizare triangle love mengalun merdu. Kedua orang itu langsung menghentikan pembicaraannya. Dion memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya dan mengambil handphonenya, dia melihat sepintas siapa yang menelepon, namun hal itu membuat keningnya berkerut.
“dari kantor... haloo??” katanya seraya menaruh teleponnya di telinga kanannya. Ini masih lama dari jam makan siang selesai, batinnya.
Baru saja Tara akan meneruskan makan, tapi gerakannya terhenti saat Dion tiba-tiba berdiri.
“what's wrong??” tanyanya seraya menaruh sendoknya kembali. “you have to come with me. Now” jawab Dion singkat. Tanpa menunggu jawaban Tara, Dion langsung meraih tangan Tara dan berjalan cepat menuju mobil.
“kau harus menemuinya... sebelum... terlambat” kata Dion saat mereka berdua sudah berada di mobil. “Akuu?? Apa hubungannya denganku??” Dion tak menjawab, tatapannya lurus ke jalanan. Telepon dari kantornya tadi telah membuat Dion terdiam, Tara juga tak berani bertanya lebih banyak, yang dia tahu, ada hal gawat yang sedang terjadi, dan dia masuk ke dalam hal itu.
****
Selang oksigen itu tertancap di kedua lubang hidungnya. Matanya masih terpejam, dan cairan infus itu masih terus menetes. Ada 2 orang berpakaian putih di sebelah brangkarnya, dan beberapa keluarganya termasuk ibu dan kakaknya.
********
Dion dan Tara setengah berlari melewatu koridor Rumah Sakit menuju suatu ruangan di ujung koridor. Dion langsung membuka pintu itu dan langsung tertegun melihat gadis yang selelu tegar dan ceria itu terbaring tanpa daya di brangkar. Dengan masih memegang erat tangan Tara, Dion melangkah perlahan menuju brangkar. Tara hanya terdiam, tak berkedip sedetikpun melihat wajah cantik nan manis seperti putri salju yang tertidur menunggu sang pangeran, yang sedang tertidur di ranjang. Semua yang berada di sekitar brangkar langsung menoleh dan menyisakan ruang untuk di tempati Dion dan Tara.
'mifta.... Mifta.... Kamu harus kuat sayang... Ini, kak bunga datang' Tara menoleh, apa maksudnya kak bunga?
Mata itu terbuka perlahan, Tara semakn tertegun, mata gadis itu sungguh indah, baik, dan...tulus...
'ahh... Kakak...' mifta tersnyum kecil
'secantik bunganya... Terimkasih kakak mau datang..' mifta terbatuk, suaranya serak dan terbata.
'si..apa... Nama asli kakak?'
'hah... Ehm... Tara... Tara Wiranata' Tara berbicara terbata.
'kakak cantik, secantik bunga-bunga itu... Kakak cocok banget sama kak Dion' mifta trsenyum.
'kak Dion, terima kasih kakak sudah mau nemenin aku selama ini, dan ngasih aku semangat' Dion hanya terdiam,matanya menatap lurus kearah gadis cantik itu.
'kau yang membuatku sadar akan makna hidup mifta' matanya memerah, namun tak pernah terlepas dari wajah cantik yg kali ini trsenyum.
'kak Dion baik-baik yaa, sama kak Tara' matanya terpejam, tapi dia masih tersenyum.
       ***
kulihat dia tersenyum, dia menarik nafas dalam-dalam, yang terasa sangat berat.
' kak Dion baik-baik dengan kak Tara', kata-katanya seakan langsung menusuk jantungku. Dengan perlahan, tangan lemahnya meraih tangan Dion yang ada di sampingnya, lalu meraih tanganku di tralis brangkarnya.
'kalian berdua sangat cocok, untuk terakhir ini, firasat dan feelingku selaras,, jadilah keluarga yang bahagia... Dan nanti, jika kalian menikah, jangan lupa bunga mawar putihnya yaa...' kata gadis itu sambil menyatukan tanganku dan tangan Dion. Untuk pertama kalinya aku membuka percakapan..
'mifta... Kalau kamu mau lihat kakak menikah, mifta harus sembuh.. Mifta harus sembuh yaa...' aku tersenyum padanya.
'aku akan sangat berbahagia jika aku bisa datang, namun maaf aku tak bisa...' gadis itu tersenyum lagi... Itu membuatku sedikit... Merinding. Senyumnya begitu sarat dengan keikhlasan dan kelegaan hati.
“maaf kak... Tapi aku tak bisa, tapi tenang, aku akan tetap bisa melihat kakak,, aku sudah merasa.... Nyaman” senyum itu terkembang lagi, matanya yang sayu mulai meredup dan akhirnya tertutup. Selamanya.
     ***
Dion langsung menarik tangannya dari genggaman mifta.
'alat pengejutnya' Dion berbicara dengan sedikit berteriak pada perawat yang ada disitu, dokter yang berada disitupun segera bertindak juga. Beberapa kali alat pengejut jantung itu menempel di dadanya, namun tak berefek apa-apa. Dion terus melihat kardiograFnya, namun garis lurus itu tak menunjukan tanda-tanda untuk membentuk gunungan lagi. Dion menyerah, dia meletakkan alat pengejut jantung itu. Dan berlutut di samping seorang gadis cantik yang tak bernyawa lagi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar