Sabtu, 20 Juli 2013

Berakhir di Jombang

Aku memasukkan jas lab kedalam koperku. Barang terkahir dalam daftar barang bawaan yang sudah kutulis. Aku mencoret tulisan jas lab sebagai tanda bahwa barang sudah siap. Kulihat laptop yang masih menyala di kasur, menampilkan deretan surat elektronik yang masuk dengan nama pengirim sebagai daftar. Tak ada balasan darinya sejak kemarin malam ketika aku mengiriminya pesan tentang penugasanku dan jadwal keberangkatanku. Tak ada namanya di deretan kotak masuk, masih sama seperti dua tahun lalu. Harusnya dia sudah pulang. Batinku. 
Setelah memastikan sekali lagi bahwa semua sudah siap, aku segera mematikan laptop, memasukkan dalam tas punggung dan turun menemui kedua orang tuaku. 
"sudah mau berangkat??" Bunda menyapaku ketika aku sudah berada di ruang tengah. aku hanya mengangguk mengiyakan.
"sudah memberitahu tante Laya?" ayah bergantian bertanya dari balik koran.
"sudah yah... kemarin aku juga sudah berpamitan."
Tante Laya, orang yang selama dua tahun ini aku rawat. Semenjak kepergian Alex ke Perancis dua tahun lalu untuk kuliah dengan beasiswa penuh dari Departemen Pendidikan Perancis di Indonesia, Aku ditugasi untuk merawat ibu Alex itu oleh pak Dicky yang merupakan sahabat tante Laya. Kulihat jam di pergelangan tanganku. Pukul delapan pagi. Sebentar lagi travel yang akan membawaku ke jombang akan segera tiba.
TIINN...TIINN... baru saja aku membatin dan mobil APV silver sudah menunggu di depan rumah.
"ayah..bunda... Alia berangkat dulu..." aku salim kepada kedua orang tuaku sebelum mengangkat koperku. Ayah dan bunda mengantarkan keberangkatanku sampai di depan rumah.

Perjalanan Malang-Jombang membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Aku memprediksi akan sampai di Jombang sekitar pukul sebelas. Jika tidak macet. di dalam mobil sudah terisi 4 orang lain yang juga bertujuan ke jombang dan sekitarnya, yang sekiranya menjadi rute keberangkatan. Aku duduk di bangku tengah, yang masih terisi satu penupang wanita berusia sekitar 30 tahunan. Koperku sudah dimasukkan dalam bagasi, sementara tas punggungku yang hanya berisi laptop dan beberapa buku kuliah kuletakkan di bawah jok mobil.


Perjalanan terasa sangat lama, beberapa penumpang memilih tidur atau menghabiskan waktu dengan menelepon keluarga yang kan mereka kunjungi, sementara aku menatap kosong keluar jendela mobil, menatap deretan pohon-pohon yang terjajar rapi dipinggir jalan.
Aku teringat kejadian tiga hari yang lalu saat aku dipanggil ke ruang dosen, ruangan pak Jodi tepatnya. Beliau memberitahukan tugas penelitian yang harus kulakukan di Jombang bersama seorang partner yang sampai detik ini tak kuketahui siapa dirinya. Semua akomodasi biaya da tempat tinggal sementara sudah diurus oleh pihak Sekolah kesehatan di Jombang. Ini adalah tahun kedua pihak Jombang mengundang mahasiswa dari Sekolah Kesehatan di Malang untuk mengisi seminar dan materi disana, dan tahun ini aku yang menjadi perwakilannya. Tak lama setelah ingatanku tentang tiga hari lalu berakhir, aku merasa kantuk menyerang dan tiba-tiba semuanya gelap.

Tepat tiga jam setelah keberangkatanku, aku sampai di depan rumah minimalis bergaya modern yang akan menjadi rumah tinggalku untuk seminggu kedepan. Barang-barangku sudah diturunkan dari bagasi mobil dan diletakkan di depan pagar.
"terima kasih pak." aku tersenyum ramah. "sama-sama.. perlu saya bawakan kedalam sekalian non?" tanyanya.
Tentu saja pria itu punya waktu untuk membawanya kedalam, karena aku adalah penumpang terkahir yang dia antar.
"tidak usah pak... terimakasih lagi." Pria itu hanya tersenyum dan langsung kembali ke dalam mobil.
Aku segera merogoh saku celanaku, mencari serentet kunci. Mulai dari kunci gembok, kunci garasi, sampai kunci pintu depan.

Aku segera menuju dapur ketika semua pekerjaanku untuk memindah pakaian kedalam lemari sudah selesai. Aku membelalakkan mata ketika melihat isi lemari es yang sangat penuh dengan makanan, mulai dari sayuran segar sampai susu kotak. Sepertinya memang sudah dipersiapkan dengan baik. Bisa digunakan untuk menghemat pengeluaran. Batinku.
Aku memasak tumis kangkung dan tempe goreng, kubuat dua porsi untuk berjaga-jaga bila partnerku tiba. Aku duduk di dapur sendiri sambil memakan masakan buatanku, tersadar akan sesuatu.
"Sial... kenapa aku memasak tumis kangkung?? Kenapa kangkung yang kupilih? padahal juga ada bayam disana." aku menggerutu sebal. Kangkung adalah makanan kesukaan Alex, dan tanpa sadar aku memilihnya untuk menu siang ini.
Setelah selesai makan dengan hati dongkol karena memikirkan kenapa aku membuat tumis kangkung, aku segera bersiap untuk pergi ke kampus. Aku harus segera menemui salah satu dosen yang akan menjelaskan apa saja yang akan kulakukan disana.

"saya pak ahmad, dosen yang akan membantu dek Alia." aku menjabat tangannya. Sepertinya aku tak perlu memperkenalkan diri, karena dia sudah tahu namaku.
            "mari ikut saya, saya akan mengajak dek Alia berkeliling untuk memperkenalkan kampus ini." kata pak Ahmad setelah menyerahkan beberapa lembar kertas berisi jadwal dan denah kampus.
            Dia memperkenalkan diri sebagai dosen perawat disini. Sejujurnya, tidak ada jurusan yang sama denganku disini, yaitu Gizi. Tapi aku diundang hanya untuk memberikan materi tentang hubungan gizi dengan bidan ataupun perawat. Agar bidan bisa tetap memperhatikan dengan teliti keadaan gizi seorang anak, dan juga sebagai perawat agar tidak sembarangan merawat dengan memberi makan seadanya pada pasien. Apalagi perawat pribadi.
            "oh ya pak... pak saya mau menanyakan tentang partner saya.” Aku menyela penjelasannya yang baru saja berakhir.
            “ohh… dia terlambat datang, nanti dia langsung masuk ke kelas yang sama dengan kamu.” Aku mengangguk mengerti dan mengikuti pak Ahmad berkeliling.

            Kulihat jam tanganku lagi, kulihat kertas jadwal sepintas. Pukul dua, ruang A-3 keperawatan. Kucocokkan jam dan jadwal, ruangan dan denah kampus. Aku berjalan memasuki sebuah ruangan yang lebih besar daripada ruang kelas, di dalamnya ada sekitar 20 orang. Setiap 5 orang mewakili satu program studi. Saatnya beraksi. Kutegakkan tubuh dan melangkah pasti memasuki ruangan.
            “selamat pagi class…. “ kuletakkan tas punggungku di kursi. Aku menyapu seluruh isi ruangan beserta mahasiswa didalamnya dengan senyum merekah. Jantungku langsung berhenti ketika melihat seseorang duduk di bangku belakang, dia juga terlihat kaget melihatku. Dion. Teman sekolahku semenjak TK. Dan dia adalah cinta pertamaku yang sekitar 6 tahun lalu memilih pergi bersama belahan jiwanya yang lain, meninggalkan aku dengan tanda tanya besar tentang kelanjutan hubungan kami yang sempat dia jalinkan selama seminggu.
            Kugerakkan bola mataku dengan cepat kearah kanan, dua bangku setelah bangku Dion. Nadia. Dia juga terlihat kaget. Bagus… aku baru ingat kalau mereka berdua sekolah disini. Kutata hatiku dan kulanjutkan tugasku. Bersikaplah profesional. Aku menyemangati diriku sendiri.
            “baiklah class… perkenalkan saya Alia Putri Avita.” Kulanjutkan dengan memberikan informasi umum tentang untuk apa aku kesini dan apa saja yang akan kuajarkan.
            “sebenarnya saya punya partner, tapi sepertinya dia akan terlambat.jadi…”
Tok…tok…
            “maaf class… saya terlambat.” Aku menoleh dan berhenti seketika, berhenti bernapas juga.
            Aku melihat para mahasiswa di depanku, semua terpana, terutama para cewek ketika melihat seorang Alex datang.
            Sialan. Berkali-kali kata itu kuulangi dalam hati. Rasanya wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Kucoba menarik napas pelan-pelan dan berusaha terlihat biasa.     Berusaha tenang ditengah badai amarah adalah tantangan paling sulit dalam hidup. Aku berusaha terlihat tenang sambil menerangkan tentang gizi masyarakat. Dua jam aku berusaha ikut tertawa bersama para mahasiswa karena humor yang kubuat sendiri. Walau sebenarnya dalam hati ini sedang digali lubang kuburan yang siap kumasuki agar aku bisa segera lenyap dari kelas ini. Setelah aku memberi salam penutup, aku segera menyudahi materi dan keluar kelas.
            “kamu mau kemana??”kata Alex cepat saat aku sudah akan berjalan keluar.
            “menurutmu??” aku menjawab acuh.
            “kau disini untuk mendampingiku. Jadi tetap disini.” Dia berkata dengan sedikit berbisik.
            ‘aku ingin keluar sebentar. Tenang saja, aku akan kembali.” Aku tak mempedulikan kata-katanya lagi. Sudah cukup panas hati ini mendengar suaranya.

            Aku duduk di tangga di samping ruangan, menerawang langit yang terasa tak sejalan dengan hatiku yang mendung. Langit begitu cerah, tapi tak bisa menularkan kecerahan itu padaku. Entah berapa lama aku menghabiskan waktu disini, tapi yang bisa kutangkap adalah suara kaki orang-orang yang keluar dari ruangan tempatku mengajar tadi. Aku tersadar dari lamunan tepat ketika tasku dilempar dengan acuh oleh Alex.
            “kita pergi makan malam diluar saja nanti. Sekarang kita jalan-jalan dulu. Sekalian liburan.” Alex berkata sambil berdiri, tak menatapku sama sekali.
            Aku menghela napas berat. Ternyata dua tahun di Perancis tak mampu mengubah sikap dinginya itu. Tapi entah kenapa kalimatnya yang tak pernah terdengar meminta melainkan menyuruh itu masih tetap bisa membuatku patuh padanya. Seperti saat ini, aku sudah berdiri mengikutinya kearah mobil yang sangat ku kenal. Yang setiap hari terparkir di garasi rumah Alex.

            Alex angkat bicara saat kami baru masuk kedalam mobil.
            ‘oh yaa…. Masih tetap sama… tumis kangkungmu kurang garam.’ Aku menoleh tak percaya kalau dia memakan tumis itu.
            “kebiasaan… kau yang terlalu menyukai garam. Kau tidak ingat apa kata Pak Dicky waktu itu? Masakanmu oversalt.” Kulihat Alex manyun mendengar komentarku.
**********
            Yeah…. Jarak kontrakan kami ke kampus memang tanggung, jika berjalan kaki akan jauh, naik angkot terlalu dekat, apalagi naik mobil Alex seperti ini. Terlihat berlebihan.
            Hari keempat kami disini, sepanjang 4 hari ini aku bersyukur tidak bertemu dengan Dion ataupun Nadia. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika bertemu mereka, sepertinya bersama beruang kutub ini lebih aman daripada sendiri. Aku punya alasan untuk pergi jika suatu waktu bertemu dengan mereka berdua. Kurang tiga hari lagi, dan aku akan segera pulang. Oke… fine..
            “kita makan siang dimana?? Aku kemarin melihat warung padang yang ramai, sepertinya enak.” Alex berjalan mendahuluiku menuju parkiran mobil. Kami baru saja selesai mengisi kelas lagi.
            “boleh aku yang menentukan tempatnya Lex?” aku menatap Alex. Kami baru keluar dari kelas dan menuju tempat parkir. Alex menatapku heran lalu menjawab.
            “bien sur..”
            “kita berbalik arah dan kembali menuju kantin kampus. Kita harus berhemat untuk tiga hari kedepan.” Dari sudut mataku, kulihat mulut Alex terbuka hendak protes, tapi langsung kusela.
            “aku tahu kau dapat pesangon banyak dari pekerjaanmu di Perancis. Tapi bahan makanan di kontrakan masih banyak dan jangan boros.” Kuacung-acungkan jari telunjukku padanya.
            Tak kudengarkan protesnya yang masih berlanjut, aku langsung berbalik dan berjalan menuju kantin. Walau masih menggerutu, kulihat Alex tetap mengikutiku.
            “kau mau makan apa??” tanyaku setelah kami menemukan tempat duduk kosong di depan stan gado-gado.
            “cah kangkung.” Jawabnya singkat.
            “jangan aneh-aneh. Aku mau pesan gado-gado. Kalau kau masih ngambek, terserah kau saja.” Aku sudah akan meninggalkan tempat duduk ketika Alex menghadang.
            tunggu..aku juga.” Aku mendengus dan melangkah pergi ke stan gado-gado.
            Aku kembali setelah memesan dua piring gado-gado, duduk di depan Alex dan mencoba mencairkan suasana.
“jadi… kau sudah pulang.” Aku menunduk sambil memainkan jariku.
“seperti yang kau lihat.” Alex memainkan garbu dan sendok yang dia pegang.
“pasti menyenangkan bisa merasakan angin musim gugur”
“hmm”
“kau pasti juga sudah ke menara Eiffel
“hmm..”
“hmmm…..”aku mendengus menahan kesal.
            Aku sudah berusaha mencairkan suasana dengan memulai pembicaraan, tapi dia seperti itu. Ingin sekali kujambak-jambak rambutnya kalau saja tidak ada dua orang yang kehabisan tempat duduk, dan kenapa dua orang itu adalah mereka.
            “hai kak… kakak disini juga?? Hai Al… apa kabar?”
Kutolehkan kepalaku melihat siapa yang dengan lantangnya menyapaku dan Alex.
            “ouh… hai…” aku merasa otot bibirku bekerja rodi untuk membentuk seulas senyum pada kedua orang itu.
            “boleh aku duduk?”
            “tentu…” kudengar Alex menjawab santai. Kepalaku rasanya sudah mendidih, berusaha agar tidak menyembulkan asap keluar.
            Nadia duduk tepat disampingku dengan wajah berbinar yang sudah dia tunjukan saat menyapa Alex, dan tentu saja Dion duduk disebelah Alex. Saat itu juga makanan kami datang. Nadia dan Dion juga segera memesan makanan. Selama makan, Nadia dan Alex mengobrol dengan santai, sementara Dion dan aku memilih untuk diam.
            “bagaimana kalau besok kita double date? Sekalian merayakan hari ultahku.” Nadia berkata dengan santai dan tersenyum lebar.
            Uhuukkk…. Aku dan Dion batuk bersamaan. Aku mendelik kearah Alex, tapi Alex malah tersenyum menang dan menyetujui ajakan Nadia. Berkali-kali aku mengumpat dalam hati.
*******
            Malam ini aku memilih memakai rok biru muda selutut bermotif tribal dengan atasan polos berwarna putih. Rambut yang biasanya ku kuncir kuda, kini ku gerai bebas tak beraturan. Aku malas berdandan. Aku keluar dari kamar dan menemukan Alex dengan kemeja biru muda yang terlihat match dengan bawahan jeans. Trendy, tentu saja--dia baru saja pulang dari negara yang banyak orang bilang sebagai kota mode.
            “bisakah kau sedikit menghargai penampilanku dengan terlihat elegan saat bersamaku?” Alex mengerutkan kening.
            “kurasa ini adalah mode terbaru.” Aku mengangkat bahu.
            Alex langsung menyeretku ke dalam kamar lagi, mengobrak abrik kotak asesorisku, dan mengambil japit rambut berbentuk sisir dengan hiasan seperti berlian di tepinya. Dia menyusupkan sisir kecil itu di rambutku sebelah kanan dan membuat rambut panjang yang menutupi pipi kananku tertarik kebelakang.
            “begini baru mode.” Alex tersenyum puas. Sementara aku merasa pipiku mulai memanas.

            “sedang apa mereka?” tanyaku pada Nadia sambil melihat dua orang pria di kejauhan.
            “entahlah… membicarakan tentang pria mungkin.” Nadia mengangkat bahunya acuh, namun aku masih penasaran dengan apa yang dilakukan Dion dan Alex.
            Mereka berbincang jauh dari kami berdua, entah membicarakan apa.
            Aku sudah sampai sekitar lima belas menit lalu, memilih meja diluar kedai agar bisa leluasa merayakan ulang tahun Nadia. Seorang pelayan datang membawa cup cake yang diatasnya terdapat lilin yang menyala.
            “hai para cowok… bisa kita mulai??” Nadia meninggikan suaranya. Kedua pria itu menoleh dan segera berjalan kearah Nadia.

            Kami berempat menyanyikan lagu selamat ulang tahun secara lengkap, mulai dari ucapan selamat, make a wish lalu tiup lilin, dan juga potong kue. Harusnya potong kue tidak perlu dinyanyikan, apa yang bisa dipotong dari cup cake mini berdiameter lima sentimerter itu.
            “ini dari kami, dia punya ide untuk memberimu sesuatu. Semoga kau suka.” Alex menyerahkan bungkusan kecil pada Nadia. Yang sudah pasti diterimanya dengan gembira.
            Aku hanya bisa diam, karena aku memang tak pernah punya ide untuk memberi Nadia hadiah. Itu hanya kebiasaan Alex yang memang sangat menghormati orang lain.

            Pelayan datang lagi, kali ini membawa sepiring ikan bakar. Trik yang bagus. Ikan sebesar itu memang tak kan habis untuk empat orang sekalipun.
            Selama makan malam, seperti biasa aku lebih banyak diam dan ikut nimbrung beberapa kali. Setelah makan malam selesai, kami masih duduk di bangku masing-masing.
            “Na…” panggil Alex.
            “yaa..” aku dan Nadia menjawab bersamaan. Kami saling berpandangan dan aku segera menjelaskan.
            “Alex suka memanggilku Nara, dia menyukai salah satu cerpen yang kubuat, dan nama tokoh ceweknya Alia Kanara.” Aku meringis sungkan.
            “ouh…” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Nadia, terlihat kecewa bahwa bukan dia yang dipanggil.
            Percaya atau tidak, aku pintar melihat ekspresi orang. Hanya satu orang yang tak bisa kubaca. Alex. Bawaannya yang dingin seakan membekukan penglihatanku. Dan yang kulihat dari Nadia adalah, dia tertarik pada Alex, entah dalam konteks seperti apa, fans, atau apa.
            Siapa yang tidak langsung terpesona dengan kharisma Alex. Dia yang dianugerahi tubuh tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti, dengan berat ideal dan tubuh atletis, pasti mampu memesona setiap wanita. Apalagi dengan sikap friendly yang dimilikinya, para wanita yang dekat dengannya seakan diberi tiket palsu untuk masuk dalam hatinya. Perhatian yang kadang berlebihan.
            “mana tanganmu.” Aku menurut dan mengulurkan tangan kananku meski tak tahu apa yang akan dilakukannya.
             Alex mengambil sesuatu dari saku celananya dan memasangkannya di pergelangan tanganku.
            “aku tak tahu kenapa ibu bisa memberikan ini padamu. Tapi yang jelas, aku akan diusir dari rumah kalau gelang ini belum ada di tanganmu.”
            “apa ini??” aku melongo melihat gelang dengan lebar sekitar tiga sentimeter dipasang di tanganku. Warnanya seperti warna besi, tapi Alia bisa melihat tidak semuanya terbuat dari besi.
            “campuran besi dan…”
            “silver.” Kata-kataku dilanjutkan oleh Alex. “terlihat seperti biasa.” Nadia menimpali.
            “pasti di desain sendiri, karena pembuatnya tak akan mau membuat gelang jalin serumit itu dengan kombinasi besi dann silver.” Dion ikut berpendapat.
            “terlihat sangat biasa… atuuuhh….” Kurasakan rasa cenat-cenut di dahiku karena sebatang supit yang disediakan di kotak sendok menyentuh dahiku dengan keras. Alex memukulku dengan telak menggunakan supit.
            “akan kuberi tahu dimana ketidak biasanya. Pelayan..” pelayan langsung datang dan segera kembali ke dapur setelah Alex menyampaikan pesanannya.
            Pelayan itu kembali dengan segelas air, dan mangkok.
            “mana tanganmu.” Katanya sambil mengulurkan tangan. Kuulurkan tangan kananku.
            Dia menarik tanganku keatas mangkok. Lalu menyiramnya dengan air yang sduah di tambah dengan cairan bening yang juga dibawa Dion. Perlahan warna gelangku berubah. Menyisakan bentuk-bentuk hati.
            “yang putih itu silvernya, dan yang berubah gelap itu besinya.” Katanya sambil emngelap sisi gelang yang basah.
            Aku dan Nadia hanya bisa terdiam menatap perubahan yang mengejutkan itu.
            “bagus banget kak, sapa yang pesen?” Nadia bertanya dengan kagum.
            “nenek ibuku…” jawabnya singkat.
            “barang lama dong?? Pasti punya sejarah.” Nadia menghentikan aktivitas makannya dan menatap gelang di tangan kananku.
            “kalian mau dengar??” Tanya Alex. Nadia dan aku mengangguk.
            “pertama kali aku melihat gelang ini sekitar 6 tahun lalu, sekitar sepuluh hari sebelum kakak laki-lakiku menikah. Saat gelang ini ditunjukan padaku dan kakak, aku langsung jatuh cinta.” Senyum mengembang di bibir Alex.
            Aku menatap gelang itu takjub. Ternyata memang indah.
            “ibu menceritakan tentang gelang itu, gelang itu diwariskan dari generasi ke generasi, setiap menantu atau anak perempuan kesayangan. Ibu adalah generasi kedua, dan ibu ingin mewariskan gelang itu pada calon istri kakakku, ibuku sangat menyayanginya. Namanya Mira” Alex meringis pedih.
            “seminggu sebelum pernikahan kakakku, kami mendengar kabar tentang jatuhnya pesawat yang ditumpangi kak Mira. Tak ada korban selamat.”
            Aku merasakan ada air menggenang di pelupuk mataku, tak tertahan dan menetes keluar. Sementara itu, Alex tersenyum ceria dan melanjutkan akhir ceritanya.
            “sejak saat itulah gelang ini tak pernah dibuka lagi. Sampai akhirnya, ibu mengirimnya tadi pagi ke kontrakan. Memintaku untuk memberikan padamu. Jadi aku tak segan-segan membunuhmu jika kau hilangkan gelang ini.” Kata Alex dengan nada sedikit mengancam di akhir.
            Aku mengusap air mataku. Ahh… aku memang gampang menangis ataupun terharu.
            “kenapa kau menangis Na??”
            “aku terharu bodoh..” semua tertawa mendengar jawabanku. Menertawakan aku yang masih mengusap air mataku.

            Alunan musik lembut terdengar di setiap sudut taman kedai, Alex tiba-tiba berdiri dan menghampiri Nadia disampingku.
            “in your birthday, be my dancer princess.” Alex membungkuk, mengulurkan tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya dibelakang punggung.
            Tentu saja Nadia sangat senang, dari awal Nadia memang tertarik pada Alex.
            Alex dan Nadia berjalan bergandengan kearah pelataran bundar yang sudah ada beberapa pasangan dansa disana. Dan aku… ditinggalkan dengan Dion. Aku bersumpah akan mencekik Alex ketika sampai dirumah.

            “apa kabarmu Al..?” Dion mencoba membuka pembiacaraan. Kami sekarang hanya berdiri di depan meja makan sambil memegang segelas minuman, menyaksikan Nadia dan Alex yang terlihat sangat menikmati suasana. Menyebalkan.
            “baik.. kau?”
            “baik… Al… aku ingin meminta maaf atas apa yang aku lakukan enam tahun lalu.” Kudengar nada yang sedikit ragu dalam suara Dion.
            “sudahlah…. Aku sudah melupakannya.” Aku mengibaskan tangan di depan wajahku, pura-pura baik-baik saja. Padahal aku sedang berusaha sekuat tenaga menahan perih luka yang sekarang mejadi luka basah lagi.
            “aku tahu aku munafik, aku bilang aku hanya membantu masa sulitnya. Tapi ternyata aku..”
            “benar-benar jatuh cinta padanya.” Kulanjutkan kalimatnya yang terpotong. Tak ada diantara kami yang saling memandang, kami berbicara tanpa melihat satu sama lain.
            “aku sudah melupakan hal itu Dion… itu hanya masa lalu.” Aku tersenyum masam.
            “kau bukan orang yang gampang melupakan masa lalu Al.. aku terlalu mengenalmu.”
            “kau tak mengenalku enam tahun terakhir ini, aku sudah berubah.”
            “ya… kau lebih tegar, tapi kau tetap Alia yang dulu.” Cukup. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus segera pergi dari sini. Akan segera kuakhiri ini.
            “dengar Dion, aku sudah mengikhlaskanmu, aku sudah rela. Sangat rela. Dan anggap kita baik-baik saja, jalani hidup yang sekarang.”
            “Alex orang yang paling tepat untukmu. Dia pasti bisa mencintaimu melebihi aku.”
            Aku diam, meletakkan gelasku dan berjalan menjauh. Aku duduk di bangku taman. Menatap ke langit yang penuh bintang. Aku mungkin memang jatuh cinta pada Alex semenjak bertengkar dengannya 3 tahun lalu. Bertengkar hanya karena mengikuti sebuah lomba debat tentang gizi kesehatan di kampus. Sampai pada akhirnya kami sering di jadikan partner dalam lomba atau apapun karena kekritisan dan kepintaran kami.
            Alex berada satu tahun diatasku, namun usianya berbeda dua tahun lebih tua dariku. Satu tahun bersama ternyata mampu menumbuhkan rasa cinta dalam diriku, meski aku sadari kalau rasa cinta itu terhadang penantianku pada Dion. Penantian sia-sia yang tak pernah terbalas. Tapi Alex tak pernah menunjukan bahwa dia memiliki rasa ketertarikan yang sama denganku. Aku memejamkan mata, merasakan buliran air mata perlahan jatuh.
            “menangis malam-malam bisa menyebabkan insomnia.” Kudengar suara Alex yang tiba-tiba berada di sebelahku. Segera kuseka air mataku.
            “dapat teori dari mana? Orang Perancis mengajarkan hal itu juga hah?” kataku sewot menutupi nada sedihku.
            “saat kematian Kak Mira yang kuceritakan tadi. Kakakku menangis semalaman. Kau tahu, aku tak pernah berseteru apapun dengan kakakku, kecuali urusan uang jajan.” Alex terkekeh dan  melanjutkan.
            “itupun sudah berakhir saat kakakku masuk SMA. Dan selama kami bertengkar, tak pernah aku melihat kakakku menangis. Kakakku menangis seharian saat itu, matanya sembab. Dia tidak bisa tidur karena air mata terus membasahi bola matanya. Dia baru bisa tidur ketika pagi menjelang. Saat rasa kantuknya tidak bisa berkompromi lagi.”
            “aku hanya masih terharu dengan cerita kakakmu.” Aku menunduk menutupi semua kebohongan ini.
            “kenapa kamu diam padaku?? Dua tahun lalu, semarah apapun kamu ke aku, kau tak pernah berdiam seperti ini. Kau akan mengungkapkan semua sumpahmu untuk mencekik, meracuni, menggantung, atau menjambak rambutku.” Suara Alex berubah serius. Alex tertawa kecil dan membuatku ikut tertawa miris ditengah tangisku.
            “aku tahu, ketika aku meniggalkanmu tadi kau juga bersumpah untuk mencekikku.”
            “sok tau…” aku tersenyum menyadari dia benar.
            “jadi kenapa??”
Aku menarik napas, berfikir apakah aku bisa mengatakan semua ini padanya.
            “kau kira kenapa?? Kau tak pernah bertanya pada dirimu? Selama setahun kita dijadikan satu team. Team yang bagiku adalah sebuah lawan. Lawan yang pada akhirnya memunculkan sebuah rasa nyaman. Setelah itu kau pergi tanpa kabar.”
            Aku berdiri, menggerakkan seluruh anggota badanku untuk mengekspresikan kemarahanku padanya. Sepertinya alam bawah sadarku yang penuh kemarahan mulai membuncah.
            “kau tak tahu betapa sibuknya diriku.” Alex ikut berdiri.
            “apa kau tidak berfikir bagaimana rasanya aku terus berada di rumahmu sepanjang hari, menatapi fotomu tanpa tahu kabarmu. Dan tiba-tiba saja kau datang, mengetok pintu, dan dengan santai masuk ruangan. Mengatakan selamat pagi….” Aku masih berputar-putar dengan kemarahan saat tiba-tiba tangan kiriku ditarik paksa oleh Alex.
            Dia memelukku, semakin erat. Pelukan yang sama seperti tiga tahun lalu, kehangatan yang sama, saat kami memenangkan suatu lomba dan dia tiba-tiba memelukku. Air mataku menetes lagi. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuat bibirnya tepat berada di samping telingaku saat dia menundukkan kepala.
            “kau tak tahu batapa aku ingin mengenalmu dengan baik saat lomba debat itu? Kau tak tahu betapa kau sudah menjadi terlalu benci padaku hingga usahaku berbaikan denganmu terlihat sia-sia? Tak tahu kah kau begitu sulit merekomendasikanmu untuk menjadi peneliti disini karena tugasmu yang sudah terlalu banyak? Tak tahukah kau betapa senangnya hatiku bahwa ibuku sangat menyukaimu? Menyayangimu? Aku sudah akan menyerah kalau saja aku tak tahu Dion mengenalmu. Dengan baik.”
            Aku tak bisa berkata apapun, juga tak membalas pelukan Alex. Tanganku masih tergantung lemas dikedua sisi tubuhku. Alex juga tak mau melepaskan pelukannya. Semakin erat sebelum dia melanjutkan kata-katanya.
            “tak tahukah kau? Bahwa aku mencintaimu?? Aku mencintaimu. Alia Putri Avita.”
            Darah segar seakan sangat lancar dalam peredarannya. Terlalu lancar malah. Seperti sungai yang sedang dilanda banjir. Mataku mulai kabur, tertutup air mata yang terus saja menggenang.
            Ku kedipkan mataku untuk menghilangkan air mata itu. Kulihat Dion berdiri tak jauh dariku, setidaknya cukup jelas bagiku untuk melihat senyum lega yang Dion pancarkan. Senyum lega, senyum bahagia seperti dulu saat aku bersamanya. Dia tersenyum padaku, aku membalasnya dengan senyum kelegaan yang sama.
            Cinta pertamaku, telah berlayar. Dengan perahu yang berbeda. Membawa semua sisa rasa cinta yang tertinggal dalam hatiku. Kini kudapatkan jawaban atas do’aku, Tuhan mengambil semua rasa cintaku pada Dion, karena memang Dion bukan untukku.
            Kubalas pelukan Alex. Berharap pelabuhan hatiku ini menjadi pelabuhan terakhirku. Karena aku sudah lelah--untuk berlayar.
**********
            “ada hubungan apa kau dengan Alia?”
            “hanya teman, mungkin. Dia terlalu angkuh untuk menerimaku lebih dari teman dalam hidupnya.”
            “dia tidak seperti itu Lex, dia mempunyai perasaan khusus padamu. Tapi entah, seakan ada yang menghambatnya.”
            “mungkin cinta pertamanya. Salah satu sahabatnya pernah bercerita padaku tentang cinta pertama yang masih Alia pertahankan.” Alex menunduk, sementar Dion langsung menoleh kearah Alex.
            “aku sangat menyesal. Akan kuperbaiki kerusakan yang sudah kubuat.” Alex menoleh kearah Dion dengan kening berkerut.
“maksudmu??”
            “aku tidak tahu kalau Alia masih mengharapkanku. Kukira selama enam tahun ini Alia akan melupakanku.” Dion tertunduk, menatap kosong kearah rumput.
“jangan bilang…”
            “ya.. akulah cinta pertama itu. Aku yang membuat Alia seperti ini.”
            “tapi namanya…”
            “Angga… namaku Dion Anggara, hanya Alia yang memanggilku Angga. Dengar Lex. Alia mempunyai kemampuan untuk membaca ekspresi orang, dan aku tahu dia bisa membaca kegelisahanku saat bertemu dengannya kemarin. Sementara aku punya kemampuan membaca karakter orang. Dan aku membacamu Lex. Aku yakin Alia juga bisa.”
            “dia tidak bisa.. dia pernah marah-marah padaku karena ekspresiku tak bisa dia tembus.” Dion membelalak. Lalu menggeleng-gelengkan kepala.
            “baru kali ini Alia tak bisa membaca ekspresi orang. Tapi dengar, aku bisa lihat ada rasa dalam diri Alia. Rasa yang tertuju padamu. Aku sangat mengenal Alia. Aku tak mungkin salah.” Dion menepuk bahu Alex. Alex hanya menerawang ke langit senja yang tak terbatas.
            “kenapa kau tak kembali saja? Sudah jelas rasa cinta itu masih ada.”
            “rasa cinta itu bukan masih ada, tapi masih tersisa. Hanya sebentuk sisa yang sengaja dipertahankan karena ada harapan. Harapan yang dia buat sendiri. Aku memang mencintai Alia, tapi aku lebih mencitai Nadia. Ada yang lebih layak mendapatkan seluruh cinta Alia. Kau.” Alex dan Dion saling bertatapan.
            “mereka tak bisa mendengarkan kita kan??” Alex bertanya sambil menoleh sekilas kearah Nadia dan Alia di meja tempat Nadia memesan kue ulang tahunnya.
            “Alia tahu kita membicarakan sesuatu, kau tak meragukan kemampuannya kan?? Tapi dia tak akan tahu sejauh itu. Sebaiknya kita segera kembali. Kuenya sudah datang.”

end


terispirasi dari cinta pertama yang sduah pergi ke Jombang. bersama kekasih barunya pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar