Aku memasukkan jas lab kedalam koperku. Barang terkahir dalam
daftar barang bawaan yang sudah kutulis. Aku mencoret tulisan jas lab sebagai
tanda bahwa barang sudah siap. Kulihat laptop yang masih menyala di kasur,
menampilkan deretan surat elektronik yang masuk dengan nama pengirim sebagai
daftar. Tak ada balasan darinya sejak kemarin malam ketika aku mengiriminya
pesan tentang penugasanku dan jadwal keberangkatanku. Tak ada namanya di
deretan kotak masuk, masih sama seperti dua tahun lalu. Harusnya dia sudah pulang. Batinku.
Setelah
memastikan sekali lagi bahwa semua sudah siap, aku segera mematikan laptop,
memasukkan dalam tas punggung dan turun menemui kedua orang tuaku.
"sudah mau berangkat??" Bunda menyapaku ketika aku sudah
berada di ruang tengah. aku hanya mengangguk mengiyakan.
"sudah memberitahu tante Laya?" ayah bergantian bertanya
dari balik koran.
"sudah yah... kemarin aku juga sudah berpamitan."
Tante Laya, orang yang selama dua tahun ini aku rawat. Semenjak
kepergian Alex ke Perancis dua tahun lalu untuk kuliah dengan beasiswa penuh
dari Departemen Pendidikan Perancis di Indonesia, Aku ditugasi untuk merawat
ibu Alex itu oleh pak Dicky yang merupakan sahabat tante Laya. Kulihat jam di
pergelangan tanganku. Pukul delapan pagi. Sebentar lagi travel yang akan
membawaku ke jombang akan segera tiba.
TIINN...TIINN... baru saja aku membatin dan mobil APV silver sudah menunggu di depan
rumah.
"ayah..bunda... Alia berangkat dulu..." aku salim kepada
kedua orang tuaku sebelum mengangkat koperku. Ayah dan bunda mengantarkan
keberangkatanku sampai di depan rumah.
Perjalanan Malang-Jombang membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Aku memprediksi
akan sampai di Jombang sekitar pukul sebelas. Jika tidak macet. di dalam mobil
sudah terisi 4 orang lain yang juga bertujuan ke jombang dan sekitarnya, yang
sekiranya menjadi rute keberangkatan. Aku duduk di bangku tengah, yang masih
terisi satu penupang wanita berusia sekitar 30 tahunan. Koperku sudah
dimasukkan dalam bagasi, sementara tas punggungku yang hanya berisi laptop dan
beberapa buku kuliah kuletakkan di bawah jok mobil.
Perjalanan terasa sangat lama, beberapa penumpang memilih tidur
atau menghabiskan waktu dengan menelepon keluarga yang kan mereka kunjungi,
sementara aku menatap kosong keluar jendela mobil, menatap deretan pohon-pohon
yang terjajar rapi dipinggir jalan.
Aku teringat kejadian tiga hari yang lalu saat aku dipanggil ke
ruang dosen, ruangan pak Jodi tepatnya. Beliau memberitahukan tugas penelitian
yang harus kulakukan di Jombang bersama seorang partner yang sampai detik ini
tak kuketahui siapa dirinya. Semua akomodasi biaya da tempat tinggal sementara sudah diurus oleh pihak Sekolah kesehatan di Jombang. Ini adalah
tahun kedua pihak Jombang mengundang mahasiswa dari Sekolah Kesehatan di Malang
untuk mengisi seminar dan materi disana, dan tahun ini aku yang menjadi
perwakilannya. Tak lama setelah ingatanku tentang tiga hari lalu berakhir, aku
merasa kantuk menyerang dan tiba-tiba semuanya gelap.
Tepat tiga jam setelah keberangkatanku, aku sampai di depan rumah
minimalis bergaya modern yang akan menjadi rumah tinggalku untuk seminggu
kedepan. Barang-barangku sudah diturunkan dari bagasi mobil dan diletakkan di
depan pagar.
"terima kasih pak." aku tersenyum ramah. "sama-sama..
perlu saya bawakan kedalam sekalian non?" tanyanya.
Tentu saja pria itu punya waktu untuk membawanya kedalam, karena
aku adalah penumpang terkahir yang dia antar.
"tidak usah pak... terimakasih lagi." Pria itu hanya
tersenyum dan langsung kembali ke dalam mobil.
Aku segera merogoh saku celanaku, mencari serentet kunci. Mulai
dari kunci gembok, kunci garasi, sampai kunci pintu depan.
Aku segera menuju dapur ketika semua pekerjaanku untuk memindah
pakaian kedalam lemari sudah selesai. Aku membelalakkan mata ketika melihat isi
lemari es yang sangat penuh dengan makanan, mulai dari sayuran segar sampai
susu kotak. Sepertinya memang sudah dipersiapkan dengan baik. Bisa digunakan
untuk menghemat pengeluaran. Batinku.
Aku memasak tumis kangkung dan tempe goreng, kubuat dua porsi
untuk berjaga-jaga bila partnerku tiba. Aku duduk di dapur sendiri sambil
memakan masakan buatanku, tersadar akan sesuatu.
"Sial... kenapa aku memasak tumis kangkung?? Kenapa kangkung
yang kupilih? padahal juga ada bayam disana." aku menggerutu sebal.
Kangkung adalah makanan kesukaan Alex, dan tanpa sadar aku memilihnya untuk
menu siang ini.
Setelah selesai
makan dengan hati dongkol karena memikirkan kenapa aku membuat tumis kangkung,
aku segera bersiap untuk pergi ke kampus. Aku harus segera menemui salah satu
dosen yang akan menjelaskan apa saja yang akan kulakukan disana.
"saya pak ahmad, dosen yang akan membantu dek Alia." aku
menjabat tangannya. Sepertinya aku tak perlu memperkenalkan diri, karena dia
sudah tahu namaku.
"mari ikut saya, saya akan mengajak dek Alia berkeliling
untuk memperkenalkan kampus ini." kata pak Ahmad setelah menyerahkan
beberapa lembar kertas berisi jadwal dan denah kampus.
Dia memperkenalkan diri sebagai dosen perawat disini. Sejujurnya,
tidak ada jurusan yang sama denganku disini, yaitu Gizi. Tapi aku diundang
hanya untuk memberikan materi tentang hubungan gizi dengan bidan ataupun
perawat. Agar bidan bisa tetap memperhatikan dengan teliti keadaan gizi seorang
anak, dan juga sebagai perawat agar tidak sembarangan merawat dengan memberi makan
seadanya pada pasien. Apalagi perawat pribadi.
"oh ya pak... pak saya mau menanyakan tentang partner
saya.” Aku menyela penjelasannya yang baru
saja berakhir.
“ohh… dia terlambat datang, nanti dia langsung masuk ke kelas yang
sama dengan kamu.” Aku mengangguk mengerti dan mengikuti pak Ahmad berkeliling.
Kulihat jam tanganku lagi, kulihat kertas jadwal sepintas. Pukul
dua, ruang A-3 keperawatan. Kucocokkan jam dan jadwal, ruangan dan denah kampus.
Aku berjalan memasuki sebuah ruangan yang lebih besar daripada ruang kelas, di
dalamnya ada sekitar 20 orang. Setiap 5 orang mewakili satu program studi.
Saatnya beraksi. Kutegakkan tubuh dan melangkah pasti memasuki ruangan.
“selamat pagi class…. “ kuletakkan tas punggungku di kursi. Aku menyapu seluruh isi
ruangan beserta mahasiswa didalamnya dengan senyum
merekah. Jantungku langsung berhenti ketika
melihat seseorang duduk di bangku belakang, dia juga terlihat kaget melihatku. Dion.
Teman sekolahku semenjak TK. Dan dia adalah cinta pertamaku yang sekitar 6
tahun lalu memilih pergi bersama belahan jiwanya yang lain, meninggalkan aku
dengan tanda tanya besar tentang kelanjutan hubungan kami yang sempat dia
jalinkan selama seminggu.
Kugerakkan bola mataku dengan cepat kearah kanan, dua bangku
setelah bangku Dion. Nadia. Dia juga terlihat kaget. Bagus… aku baru ingat
kalau mereka berdua sekolah disini. Kutata hatiku dan kulanjutkan tugasku. Bersikaplah profesional. Aku menyemangati
diriku sendiri.
“baiklah class… perkenalkan saya Alia Putri Avita.” Kulanjutkan dengan
memberikan informasi umum tentang untuk apa aku kesini dan apa saja yang akan
kuajarkan.
“sebenarnya saya punya partner, tapi sepertinya dia akan
terlambat.jadi…”
Tok…tok…
“maaf class… saya terlambat.” Aku menoleh dan berhenti seketika, berhenti
bernapas juga.
Aku melihat para mahasiswa di
depanku, semua terpana, terutama para cewek ketika melihat seorang Alex datang.
Sialan. Berkali-kali kata itu kuulangi dalam hati. Rasanya wajahku sudah
memerah seperti kepiting rebus. Kucoba menarik napas pelan-pelan dan berusaha
terlihat biasa. Berusaha
tenang ditengah badai amarah adalah tantangan paling sulit dalam hidup. Aku berusaha terlihat
tenang sambil menerangkan tentang gizi masyarakat. Dua jam aku berusaha ikut
tertawa bersama para mahasiswa karena humor yang kubuat sendiri. Walau
sebenarnya dalam hati ini sedang digali lubang kuburan yang siap kumasuki agar
aku bisa segera lenyap dari kelas ini. Setelah aku memberi salam penutup, aku
segera menyudahi materi dan keluar kelas.
“kamu mau kemana??”kata Alex cepat
saat aku sudah akan berjalan keluar.
“menurutmu??” aku menjawab
acuh.
“kau disini untuk mendampingiku. Jadi tetap disini.” Dia berkata
dengan sedikit berbisik.
‘aku ingin keluar sebentar. Tenang saja, aku akan kembali.” Aku
tak mempedulikan kata-katanya lagi. Sudah cukup panas hati ini mendengar
suaranya.
Aku duduk di tangga di samping ruangan, menerawang langit yang
terasa tak sejalan dengan hatiku yang mendung. Langit begitu cerah, tapi tak
bisa menularkan kecerahan itu padaku. Entah berapa lama aku menghabiskan waktu
disini, tapi yang bisa kutangkap adalah suara kaki orang-orang yang keluar dari
ruangan tempatku mengajar tadi. Aku tersadar dari lamunan tepat ketika tasku
dilempar dengan acuh oleh Alex.
“kita pergi makan malam diluar saja nanti. Sekarang kita
jalan-jalan dulu. Sekalian liburan.” Alex berkata sambil berdiri, tak menatapku
sama sekali.
Aku menghela napas berat. Ternyata dua tahun di Perancis tak mampu
mengubah sikap dinginya itu. Tapi entah kenapa kalimatnya yang tak pernah
terdengar meminta melainkan menyuruh itu masih tetap bisa membuatku patuh
padanya. Seperti saat ini, aku sudah berdiri mengikutinya kearah mobil yang
sangat ku kenal. Yang setiap hari terparkir di garasi rumah Alex.
Alex angkat bicara saat kami baru masuk kedalam mobil.
‘oh yaa…. Masih tetap sama… tumis kangkungmu kurang garam.’ Aku
menoleh tak percaya kalau dia memakan tumis itu.
“kebiasaan… kau yang terlalu menyukai garam. Kau tidak ingat apa
kata Pak Dicky waktu itu? Masakanmu oversalt.” Kulihat Alex manyun mendengar
komentarku.
**********
Yeah…. Jarak kontrakan kami ke kampus memang tanggung, jika
berjalan kaki akan jauh, naik angkot terlalu dekat, apalagi naik mobil Alex
seperti ini. Terlihat berlebihan.
Hari keempat kami disini, sepanjang 4 hari ini aku bersyukur tidak
bertemu dengan Dion ataupun Nadia. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika
bertemu mereka, sepertinya bersama beruang kutub ini lebih aman daripada
sendiri. Aku punya alasan untuk pergi jika suatu waktu bertemu dengan mereka berdua. Kurang tiga
hari lagi, dan aku akan segera pulang. Oke… fine..
“kita makan siang dimana?? Aku kemarin melihat warung padang yang
ramai, sepertinya enak.” Alex berjalan
mendahuluiku menuju parkiran mobil. Kami baru saja selesai mengisi kelas lagi.
“boleh aku yang menentukan tempatnya Lex?” aku menatap Alex. Kami
baru keluar dari kelas dan menuju tempat parkir. Alex menatapku heran lalu
menjawab.
“bien sur..”
“kita berbalik arah dan kembali menuju kantin kampus. Kita harus
berhemat untuk tiga hari kedepan.” Dari sudut mataku, kulihat mulut Alex
terbuka hendak protes, tapi langsung kusela.
“aku tahu kau dapat pesangon banyak dari pekerjaanmu di Perancis.
Tapi bahan makanan di kontrakan masih banyak dan jangan boros.”
Kuacung-acungkan jari telunjukku padanya.
Tak kudengarkan protesnya yang masih berlanjut, aku langsung
berbalik dan berjalan menuju kantin. Walau masih menggerutu, kulihat Alex tetap
mengikutiku.
“kau mau makan apa??” tanyaku setelah kami menemukan tempat duduk
kosong di depan stan gado-gado.
“cah kangkung.” Jawabnya singkat.
“jangan aneh-aneh. Aku mau pesan gado-gado. Kalau kau masih
ngambek, terserah kau saja.” Aku sudah akan meninggalkan tempat duduk ketika
Alex menghadang.
“tunggu..aku juga.” Aku mendengus dan melangkah pergi ke stan gado-gado.
Aku kembali setelah memesan dua piring gado-gado, duduk di depan
Alex dan mencoba mencairkan suasana.
“jadi… kau
sudah pulang.” Aku menunduk sambil memainkan jariku.
“seperti yang
kau lihat.” Alex memainkan garbu dan sendok yang
dia pegang.
“pasti
menyenangkan bisa merasakan angin musim gugur”
“hmm”
“kau pasti
juga sudah ke menara Eiffel”
“hmm..”
“hmmm…..”aku
mendengus menahan kesal.
Aku sudah berusaha mencairkan suasana dengan memulai pembicaraan,
tapi dia seperti itu. Ingin sekali kujambak-jambak rambutnya kalau saja tidak
ada dua orang yang kehabisan tempat duduk, dan kenapa dua orang itu adalah
mereka.
“hai kak… kakak disini juga?? Hai Al… apa kabar?”
Kutolehkan
kepalaku melihat siapa yang dengan lantangnya menyapaku dan Alex.
“ouh… hai…” aku merasa otot bibirku bekerja rodi untuk membentuk
seulas senyum pada kedua orang itu.
“boleh aku duduk?”
“tentu…” kudengar Alex menjawab santai. Kepalaku rasanya sudah
mendidih, berusaha agar tidak menyembulkan asap keluar.
Nadia duduk tepat disampingku dengan wajah
berbinar yang sudah dia tunjukan saat menyapa Alex, dan tentu saja Dion duduk disebelah Alex. Saat itu juga makanan kami
datang. Nadia dan Dion juga segera memesan makanan. Selama makan, Nadia dan
Alex mengobrol dengan santai, sementara Dion dan aku memilih untuk diam.
“bagaimana kalau besok kita double date? Sekalian merayakan hari
ultahku.” Nadia berkata dengan santai dan
tersenyum lebar.
Uhuukkk…. Aku dan Dion batuk bersamaan. Aku mendelik kearah Alex, tapi Alex
malah tersenyum menang dan menyetujui ajakan Nadia. Berkali-kali aku mengumpat
dalam hati.
*******
Malam ini aku memilih memakai rok biru muda selutut bermotif
tribal dengan atasan polos berwarna putih. Rambut yang biasanya ku kuncir kuda,
kini ku gerai bebas tak beraturan. Aku malas
berdandan. Aku keluar dari kamar dan menemukan
Alex dengan kemeja biru muda yang terlihat match dengan bawahan jeans. Trendy,
tentu saja--dia baru saja pulang dari negara yang banyak orang bilang sebagai
kota mode.
“bisakah kau sedikit menghargai penampilanku dengan terlihat
elegan saat bersamaku?” Alex
mengerutkan kening.
“kurasa ini adalah mode terbaru.” Aku mengangkat bahu.
Alex langsung menyeretku ke dalam kamar lagi, mengobrak abrik
kotak asesorisku, dan mengambil japit rambut berbentuk sisir dengan hiasan
seperti berlian di tepinya. Dia menyusupkan sisir kecil itu di rambutku sebelah
kanan dan membuat rambut panjang yang menutupi pipi kananku tertarik
kebelakang.
“begini baru mode.” Alex tersenyum
puas. Sementara aku merasa pipiku mulai memanas.
“sedang apa mereka?” tanyaku pada
Nadia sambil melihat dua orang pria di kejauhan.
“entahlah… membicarakan tentang pria mungkin.” Nadia mengangkat
bahunya acuh, namun aku masih penasaran dengan apa yang dilakukan Dion dan
Alex.
Mereka berbincang jauh dari kami berdua, entah membicarakan apa.
Aku sudah sampai sekitar lima belas menit lalu, memilih meja
diluar kedai agar bisa leluasa merayakan ulang tahun Nadia. Seorang pelayan
datang membawa cup cake yang diatasnya terdapat lilin yang menyala.
“hai para cowok… bisa kita mulai??” Nadia meninggikan suaranya.
Kedua pria itu menoleh dan segera berjalan kearah Nadia.
Kami berempat menyanyikan lagu selamat ulang tahun secara lengkap,
mulai dari ucapan selamat, make a wish lalu tiup lilin, dan juga potong kue.
Harusnya potong kue tidak perlu dinyanyikan, apa yang bisa dipotong dari cup
cake mini berdiameter lima sentimerter itu.
“ini dari kami, dia punya ide untuk memberimu sesuatu. Semoga kau
suka.” Alex menyerahkan bungkusan kecil pada Nadia. Yang sudah pasti
diterimanya dengan gembira.
Aku hanya bisa diam, karena aku memang tak pernah punya ide untuk
memberi Nadia hadiah. Itu hanya
kebiasaan Alex yang memang sangat menghormati orang lain.
Pelayan datang lagi, kali ini membawa sepiring ikan bakar. Trik
yang bagus. Ikan sebesar itu memang tak kan habis untuk empat orang sekalipun.
Selama makan malam, seperti biasa aku lebih banyak diam dan ikut
nimbrung beberapa kali. Setelah makan malam selesai, kami masih duduk di bangku
masing-masing.
“Na…” panggil Alex.
“yaa..” aku dan Nadia menjawab bersamaan. Kami saling berpandangan
dan aku segera menjelaskan.
“Alex suka memanggilku Nara, dia menyukai salah satu cerpen yang
kubuat, dan nama tokoh ceweknya Alia Kanara.” Aku meringis sungkan.
“ouh…” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Nadia, terlihat
kecewa bahwa bukan dia yang dipanggil.
Percaya atau tidak, aku pintar melihat ekspresi orang. Hanya satu
orang yang tak bisa kubaca. Alex. Bawaannya yang dingin seakan membekukan
penglihatanku. Dan yang kulihat dari Nadia adalah, dia tertarik pada Alex, entah
dalam konteks seperti apa, fans, atau apa.
Siapa yang tidak langsung terpesona dengan kharisma Alex.
Dia yang dianugerahi tubuh tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti, dengan berat ideal dan tubuh atletis, pasti mampu memesona
setiap wanita. Apalagi dengan sikap friendly yang dimilikinya, para wanita yang
dekat dengannya seakan diberi tiket palsu untuk masuk dalam hatinya. Perhatian
yang kadang berlebihan.
“mana tanganmu.” Aku menurut dan mengulurkan tangan kananku meski tak tahu apa yang akan dilakukannya.
Alex mengambil sesuatu dari
saku celananya dan memasangkannya di pergelangan tanganku.
“aku tak tahu kenapa ibu bisa memberikan ini padamu. Tapi yang
jelas, aku akan diusir dari rumah kalau gelang ini belum ada di tanganmu.”
“apa ini??” aku melongo melihat gelang dengan lebar sekitar tiga
sentimeter dipasang di tanganku. Warnanya seperti warna besi, tapi Alia bisa
melihat tidak semuanya terbuat dari besi.
“campuran besi dan…”
“silver.” Kata-kataku dilanjutkan oleh Alex. “terlihat
seperti biasa.” Nadia menimpali.
“pasti di desain sendiri, karena pembuatnya tak akan mau membuat
gelang jalin serumit itu dengan kombinasi besi dann silver.” Dion ikut
berpendapat.
“terlihat sangat biasa… atuuuhh….” Kurasakan rasa cenat-cenut di
dahiku karena sebatang supit yang disediakan di kotak sendok menyentuh dahiku
dengan keras. Alex memukulku dengan telak menggunakan supit.
“akan kuberi tahu dimana ketidak biasanya. Pelayan..” pelayan
langsung datang dan segera kembali ke dapur setelah Alex menyampaikan
pesanannya.
Pelayan itu kembali dengan segelas air, dan mangkok.
“mana tanganmu.” Katanya sambil mengulurkan tangan. Kuulurkan
tangan kananku.
Dia menarik tanganku keatas mangkok. Lalu menyiramnya dengan air
yang sduah di tambah dengan cairan
bening yang juga dibawa Dion. Perlahan warna gelangku berubah. Menyisakan
bentuk-bentuk hati.
“yang putih itu silvernya, dan yang berubah gelap itu besinya.” Katanya sambil emngelap sisi gelang yang basah.
Aku dan Nadia hanya bisa terdiam menatap perubahan yang
mengejutkan itu.
“bagus banget kak, sapa yang pesen?” Nadia bertanya dengan kagum.
“nenek ibuku…” jawabnya
singkat.
“barang lama dong?? Pasti punya sejarah.” Nadia menghentikan aktivitas makannya dan
menatap gelang di tangan kananku.
“kalian mau dengar??” Tanya Alex. Nadia dan aku mengangguk.
“pertama kali aku melihat gelang ini sekitar 6 tahun lalu, sekitar
sepuluh hari sebelum kakak laki-lakiku menikah. Saat gelang ini ditunjukan
padaku dan kakak, aku langsung jatuh cinta.” Senyum mengembang di bibir Alex.
Aku menatap gelang itu takjub. Ternyata memang indah.
“ibu menceritakan tentang gelang itu, gelang itu diwariskan dari
generasi ke generasi, setiap menantu atau anak perempuan kesayangan. Ibu adalah
generasi kedua, dan ibu ingin mewariskan gelang itu pada calon istri kakakku,
ibuku sangat menyayanginya. Namanya Mira” Alex meringis
pedih.
“seminggu sebelum pernikahan kakakku, kami mendengar kabar tentang
jatuhnya pesawat yang ditumpangi kak Mira. Tak ada korban selamat.”
Aku merasakan ada air menggenang di pelupuk mataku, tak tertahan
dan menetes keluar. Sementara itu, Alex tersenyum ceria dan melanjutkan akhir
ceritanya.
“sejak saat itulah gelang ini tak pernah dibuka lagi. Sampai akhirnya,
ibu mengirimnya tadi pagi ke kontrakan. Memintaku untuk memberikan padamu. Jadi
aku tak segan-segan membunuhmu jika kau hilangkan gelang ini.” Kata Alex dengan nada sedikit mengancam di
akhir.
Aku mengusap air mataku. Ahh… aku memang gampang menangis ataupun terharu.
“kenapa kau menangis Na??”
“aku terharu bodoh..” semua tertawa mendengar jawabanku.
Menertawakan aku yang masih mengusap air mataku.
Alunan musik lembut terdengar di setiap sudut taman kedai, Alex
tiba-tiba berdiri dan menghampiri Nadia disampingku.
“in your birthday, be my dancer princess.” Alex membungkuk,
mengulurkan tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya dibelakang punggung.
Tentu saja Nadia sangat senang, dari awal Nadia memang tertarik
pada Alex.
Alex dan Nadia berjalan bergandengan kearah pelataran bundar yang
sudah ada beberapa pasangan dansa disana. Dan aku… ditinggalkan dengan Dion.
Aku bersumpah akan mencekik Alex ketika sampai dirumah.
“apa kabarmu Al..?” Dion mencoba membuka pembiacaraan. Kami
sekarang hanya berdiri di depan meja makan sambil memegang segelas minuman,
menyaksikan Nadia dan Alex yang terlihat sangat menikmati suasana. Menyebalkan.
“baik.. kau?”
“baik… Al… aku ingin meminta maaf atas apa yang aku lakukan enam
tahun lalu.” Kudengar nada yang sedikit ragu
dalam suara Dion.
“sudahlah…. Aku sudah melupakannya.” Aku mengibaskan tangan di depan wajahku,
pura-pura baik-baik saja. Padahal aku sedang berusaha sekuat tenaga menahan perih luka yang sekarang mejadi
luka basah lagi.
“aku tahu aku munafik, aku bilang aku hanya membantu masa
sulitnya. Tapi ternyata aku..”
“benar-benar jatuh cinta padanya.” Kulanjutkan kalimatnya yang
terpotong. Tak ada diantara kami yang saling memandang, kami berbicara tanpa
melihat satu sama lain.
“aku sudah melupakan hal itu Dion… itu hanya masa lalu.” Aku tersenyum
masam.
“kau bukan orang yang gampang melupakan masa lalu Al.. aku terlalu
mengenalmu.”
“kau tak mengenalku enam tahun terakhir ini, aku sudah berubah.”
“ya… kau lebih tegar, tapi kau tetap Alia yang dulu.” Cukup. Aku
sudah tidak tahan lagi. Aku harus segera pergi dari sini. Akan segera kuakhiri
ini.
“dengar Dion, aku sudah mengikhlaskanmu, aku sudah rela. Sangat
rela. Dan anggap kita baik-baik saja, jalani hidup yang sekarang.”
“Alex orang yang paling tepat untukmu. Dia pasti bisa mencintaimu
melebihi aku.”
Aku diam, meletakkan gelasku dan berjalan menjauh. Aku duduk di
bangku taman. Menatap ke langit yang penuh bintang. Aku mungkin memang jatuh
cinta pada Alex semenjak bertengkar dengannya 3 tahun lalu. Bertengkar hanya
karena mengikuti sebuah lomba debat tentang gizi kesehatan di kampus. Sampai
pada akhirnya kami sering di jadikan partner dalam lomba atau apapun karena
kekritisan dan kepintaran kami.
Alex berada satu tahun diatasku, namun usianya berbeda dua tahun
lebih tua dariku. Satu tahun bersama ternyata mampu menumbuhkan rasa cinta dalam
diriku, meski aku sadari kalau rasa cinta itu terhadang penantianku pada Dion.
Penantian sia-sia yang tak pernah terbalas. Tapi Alex tak pernah menunjukan
bahwa dia memiliki rasa ketertarikan yang sama denganku. Aku memejamkan mata,
merasakan buliran air mata perlahan jatuh.
“menangis malam-malam bisa menyebabkan insomnia.” Kudengar suara
Alex yang tiba-tiba berada di sebelahku. Segera kuseka air mataku.
“dapat teori dari mana? Orang Perancis mengajarkan hal itu juga
hah?” kataku sewot menutupi nada sedihku.
“saat kematian Kak Mira yang kuceritakan tadi. Kakakku menangis
semalaman. Kau tahu, aku tak pernah berseteru apapun dengan kakakku, kecuali
urusan uang jajan.” Alex terkekeh dan
melanjutkan.
“itupun sudah berakhir saat kakakku masuk SMA. Dan selama kami
bertengkar, tak pernah aku melihat kakakku menangis. Kakakku menangis seharian
saat itu, matanya sembab. Dia tidak bisa tidur karena air mata terus membasahi
bola matanya. Dia baru bisa tidur ketika pagi menjelang. Saat rasa kantuknya
tidak bisa berkompromi lagi.”
“aku hanya masih terharu dengan cerita kakakmu.” Aku menunduk menutupi semua kebohongan ini.
“kenapa kamu diam padaku?? Dua tahun lalu, semarah apapun kamu ke
aku, kau tak pernah berdiam seperti ini. Kau akan mengungkapkan semua sumpahmu
untuk mencekik, meracuni, menggantung, atau menjambak rambutku.” Suara Alex berubah serius. Alex tertawa kecil dan membuatku ikut tertawa miris ditengah
tangisku.
“aku tahu, ketika aku meniggalkanmu tadi kau juga bersumpah untuk
mencekikku.”
“sok tau…” aku tersenyum menyadari dia benar.
“jadi kenapa??”
Aku menarik
napas, berfikir apakah aku bisa mengatakan semua ini padanya.
“kau kira kenapa?? Kau tak pernah bertanya pada dirimu? Selama
setahun kita dijadikan satu team. Team yang bagiku adalah sebuah lawan. Lawan
yang pada akhirnya memunculkan sebuah rasa nyaman. Setelah itu kau pergi tanpa
kabar.”
Aku berdiri, menggerakkan seluruh anggota badanku untuk mengekspresikan
kemarahanku padanya. Sepertinya alam bawah sadarku yang penuh kemarahan mulai
membuncah.
“kau tak tahu betapa sibuknya diriku.” Alex ikut berdiri.
“apa kau tidak berfikir bagaimana rasanya aku terus berada di
rumahmu sepanjang hari, menatapi fotomu tanpa tahu kabarmu. Dan tiba-tiba saja
kau datang, mengetok pintu, dan dengan santai masuk ruangan. Mengatakan selamat
pagi….” Aku masih berputar-putar dengan kemarahan saat tiba-tiba tangan kiriku
ditarik paksa oleh Alex.
Dia memelukku, semakin erat. Pelukan yang
sama seperti tiga tahun lalu, kehangatan yang sama, saat kami memenangkan suatu
lomba dan dia tiba-tiba memelukku. Air mataku
menetes lagi. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuat bibirnya tepat berada
di samping telingaku saat dia menundukkan kepala.
“kau tak tahu batapa aku ingin mengenalmu dengan baik saat lomba
debat itu? Kau tak tahu betapa kau sudah menjadi terlalu benci padaku hingga
usahaku berbaikan denganmu terlihat sia-sia? Tak tahu kah kau begitu sulit
merekomendasikanmu untuk menjadi peneliti disini karena tugasmu yang sudah
terlalu banyak? Tak tahukah kau betapa senangnya hatiku bahwa ibuku sangat
menyukaimu? Menyayangimu? Aku sudah akan menyerah kalau saja aku tak tahu Dion
mengenalmu. Dengan baik.”
Aku tak bisa berkata apapun, juga tak
membalas pelukan Alex. Tanganku masih tergantung lemas dikedua sisi tubuhku. Alex juga tak mau melepaskan pelukannya. Semakin erat sebelum dia
melanjutkan kata-katanya.
“tak tahukah kau? Bahwa aku mencintaimu?? Aku mencintaimu. Alia
Putri Avita.”
Darah segar seakan sangat lancar dalam peredarannya. Terlalu
lancar malah. Seperti sungai yang sedang dilanda banjir. Mataku mulai kabur,
tertutup air mata yang terus saja menggenang.
Ku kedipkan mataku untuk menghilangkan air mata itu. Kulihat Dion berdiri
tak jauh dariku, setidaknya cukup jelas bagiku untuk melihat senyum lega yang
Dion pancarkan. Senyum lega, senyum bahagia seperti dulu saat aku bersamanya.
Dia tersenyum padaku, aku membalasnya dengan senyum kelegaan yang sama.
Cinta pertamaku, telah berlayar. Dengan perahu yang berbeda.
Membawa semua sisa rasa cinta yang tertinggal dalam hatiku. Kini kudapatkan
jawaban atas do’aku, Tuhan mengambil semua rasa cintaku pada Dion, karena
memang Dion bukan untukku.
Kubalas pelukan Alex. Berharap pelabuhan hatiku ini menjadi
pelabuhan terakhirku. Karena aku sudah lelah--untuk berlayar.
**********
“ada hubungan apa kau dengan Alia?”
“hanya teman, mungkin. Dia terlalu angkuh untuk menerimaku lebih
dari teman dalam hidupnya.”
“dia tidak seperti itu Lex, dia mempunyai perasaan khusus padamu.
Tapi entah, seakan ada yang menghambatnya.”
“mungkin cinta pertamanya. Salah satu sahabatnya pernah bercerita
padaku tentang cinta pertama yang masih Alia pertahankan.” Alex menunduk,
sementar Dion langsung menoleh kearah Alex.
“aku sangat menyesal. Akan kuperbaiki kerusakan yang sudah
kubuat.” Alex menoleh kearah Dion dengan kening berkerut.
“maksudmu??”
“aku tidak tahu kalau Alia masih mengharapkanku. Kukira selama
enam tahun ini Alia akan melupakanku.” Dion tertunduk, menatap kosong kearah
rumput.
“jangan
bilang…”
“ya.. akulah cinta pertama itu. Aku yang membuat Alia seperti
ini.”
“tapi namanya…”
“Angga… namaku Dion Anggara, hanya Alia yang memanggilku Angga.
Dengar Lex. Alia mempunyai kemampuan untuk membaca ekspresi orang, dan aku tahu
dia bisa membaca kegelisahanku saat bertemu dengannya kemarin. Sementara aku punya kemampuan membaca karakter orang. Dan aku
membacamu Lex. Aku yakin Alia juga bisa.”
“dia tidak bisa.. dia pernah marah-marah padaku karena ekspresiku
tak bisa dia tembus.” Dion membelalak. Lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“baru kali ini Alia tak bisa membaca ekspresi orang. Tapi dengar,
aku bisa lihat ada rasa dalam diri Alia. Rasa yang tertuju padamu. Aku sangat
mengenal Alia. Aku tak mungkin salah.” Dion menepuk bahu Alex. Alex hanya
menerawang ke langit senja yang tak terbatas.
“kenapa kau tak kembali saja? Sudah jelas rasa cinta itu masih
ada.”
“rasa cinta itu bukan masih ada, tapi masih tersisa. Hanya
sebentuk sisa yang sengaja dipertahankan karena ada harapan. Harapan yang dia
buat sendiri. Aku memang mencintai Alia, tapi aku lebih mencitai Nadia. Ada
yang lebih layak mendapatkan seluruh cinta Alia. Kau.” Alex dan Dion saling
bertatapan.
“mereka tak bisa mendengarkan kita kan??” Alex bertanya sambil
menoleh sekilas kearah Nadia dan Alia di meja tempat Nadia memesan kue ulang
tahunnya.
“Alia tahu kita membicarakan sesuatu, kau tak meragukan
kemampuannya kan?? Tapi dia tak akan tahu sejauh itu. Sebaiknya kita segera
kembali. Kuenya sudah datang.”
end
terispirasi dari cinta pertama yang sduah pergi ke Jombang. bersama kekasih barunya pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar