selamat membaca guys....
Hatinya mungkin sudah berkarat. Seperti besi yang tak pernah
dilumuri oli. Tak pernah bergerak, tak pernah merasakan apa-apa. Hatinya
mungkin sudah terlalu lama berhenti merasakan sesuatu selain simpati dan
empati, selain marah dan senang. Dia sudah terlalu lama jauh dari rasa cinta.
Jauh dari rasa mencintai sesuatu selain keluarga dan teman-temannya. Hatinya
terlalu lama kesepian.
***********
Naira Taralano baru saja turun dari pesawat yang sudah
menerbangkannya selama 12 jam lebih. Jakarta begitu panas, dan Nara sangat
membencinya. Di Indonesia, Jakarta adalah salah satu kota yang menjadi list
hitamnya untuk dikunjungi. Jakarta begitu padat dan pengap, kontras dengan
negaranya singgah selama setahun ini, Perancis. Meski ada musim panas,
suasananya sungguh berbeda. Nara melihat
mobil Honda March silver sudah terparkir di depan pintu keluar bandara,
sesorang bersandar di pintu kemudi. Seorang pria yang terbilang masih muda,
mungkin sekitar awal 30-an. Memakai kemeja rapi dengan dasi yang menggantung dilehernya.
Rambut yang selalu terlihat segar dan kacamata itu membuat pria didepannya lebih
muda.
“selamat datang sayang....” sambutnya hangat. Nara langsung
memeluk pria di depannya.
“terimakasih kak.... jakarta sungguh panas, tapi kakak
sepertinya tetap terlihat segar seperti biasa.” Nara menatap pria di depannya
dari ujung rambut sampai ujung sepatunya.
“kau selalu seperti ini. Ouh.. kau sungguh berubah.
Sepertinya sekarang kau sudah mengerti mode setelah setahun di kota mode”
“jangan bicara seperti itu. Aku disiksa disana oleh
teman-temanku. Setiap akhir pekan aku harus mengikuti kursus privat mereka
padaku tentang fashion.”
“waaw... itu bagus... iya kan??”
“yaa... sepertinya juga begitu.. mungkin kita bisa
melanjutkan ceritanya setelah kita sampai dirumah.” Nara tersenyum dan segera
diikuti anggukan pria itu.
Iwan Sananta. Sulit untuk menjelaskan alur kekeluargaannya.
Pria bernama iwan itu adalah suami dari kakak sepupunya. Ita Majasta. Mereka
menikah sekitar 8 tahun yang lalu dan baru dikaruniai seorang anak perempuan
yang cantik tiga tahun yang lalu. Dua bulan sebelum kepulangannya, Nara
mendapat e-mail dari pria yang sudah dianggapnya kakak itu. Nara ditawari untuk
menjadi seorang arsitek di salah satu anak perusahaan yang baru saja dibangun.
“jadi bagaimana tentang pekerjaan itu mas?” tanyanya saat
semua berkumpul untuk makan malam.
“besok kamu ikut aku ke kantor, aku akan mengenalkanmu
dengan atasanku. Beliau akan menjelaskan secara langsung padamu. Beliau juga
ingin mengetahui bagaimana dirimu.” Kata Ita sambil menyuapi Putri, anaknya.
Mereka hanya tinggal berempat bersama dengan pembantunya.
Nara menempati kamar tamu yang berada di lantai bawah bagian depan, sementara
Ita dan keluarganya berada di lantai dua. Sementara mbok Ijah, pembantu
sekaligus pengasuh Putri berada di rumah bagian belakang.
“mengetahui diriku? Kukira mereka punya bagian personalia
untuk hal itu.” jawab Nara penasaran dan menyuapkan sesendok nasi.
“entahlah... aku mengirimkan CV yang kau buat kepada
atasanku. Dan setelah melihat fotomu, dia ingin langsung bertemu denganmu.
Mungkin karena ini cabang baru, jadi dia ingin memastikan sendiri kualitas
pegawainya”
“ouh... tentu saja, mungkin dia terpesona denganku hingga
ingin langsung menemuiku.” Semua langsung menoleh pada Nara, sedetik kemudian tawa
meledak ditengah makan siang.
“kau masih saja seperti dulu. Oh iya... ngomong-ngomong nanti
malam, aku, Putri, dan mas Iwan diundang malam dirumah sahabat kami. Kamu ikut
yaa... sekalian kakak kenalkan dengan anaknya. Dia seumuran denganmu, mungkin
hanya beda 2 tahun.” Ita menyunggingkan senyum manis memohonnya. Nara yang
mulai mengerti arah pembicaraan itu langsung menolaknya.
“aku bisa makan dirumah bareng mbok Ijah kak..” Nara menunduk
menatap garpu dan sendok yang beradu diatas makanannya. “kami akan merasa
sangat senang jika Nara mau ikut. Kau bisa menemani Putri.” Bujuk Ita.
“kakakmu benar...” kata Iwan mendukung sambil mengayunkan sendoknya.
“beginii.... aku tahu apa maksud kalian, jadi jangan
coba-coba untuk mengenalkanku dengan siapapun.” Protes Nara. “kami tak punya
maksud untuk mengenalkanmu pada siapapun. Kami hanya akan sangat berterimakasih
kalau kau mau menemani Putri saat kami berbincang sedikit dengan teman kami.”
Jelas Iwan dengan nada memohon di akhir kalimat.
Nara diam, berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya
dia mengangguk. Sebenarnya Nara tidak terlalu menyukai anak kecil, entah kenapa
sesuatu yang kuat membuatnya tidak menyukai anak kecil, tapi mau bagaimana
lagi. keluarga ini sudah membantunya mendapat pekerjaan.
Nara dan keluarganya sampai di rumah yang tak lerlalu luas,
mempunyai tingkat 2 dengan desain yang elegant. Mereka disambut oleh dua orang
yang usianya berkisar akhir 30.an. Putri juga masih berada di pelukan kakaknya,
padahal mereka berkata mau menitipkannya pada Nara.
Setelah masuk ke dalam rumah, ternyata lebih indah dari apa
yang Nara kira, kebanyakan struktur dalamnya menggunakan kayu dan batu bata,
dan penataannya sungguh mengagumkan. Nara pernah melihat ini ketika berkunjung
di salah satu rumah temannya yang ayahnya juga seorang arsitek bergaya london.
Sepertinya belum cukup Nara terkagum, desain interiornya sungguh mencengangkan.
Sungguh luar biasa ada yang memiliki desain seperti ini di Indonesia, semuanya
bergaya luar negeri. Desain interiornya sama dengan milik seorang pengusaha di
Inggris saat Nara diajak dosennya mengunjungi salah satu temannya di Inggris.
Makan malam kali ini tidak berada di dalam rumah. Rumah yang
kelihatan kecil di depannya ternyata mempunyai halaman yang cukup luas untuk mengadakan
garden party. Satu meja makan besar berada di tengah halaman, lengkap dengan
semua makanan dan alat makan. Sekali lagi bukan mewah yang dilihat Nara, tapi
elegan. Tak disadari Nara senyum senyum sendiri dari tadi.
“ada yang menghibur hatimu nona?” tanya teman Ita, dia
mengulurkan tangan. Ahh, Nara baru ingat kalau sedari tadi dia belum berkenalan
dengan mereka.
“Jenny... Jenny Hiver.” Wanita muda itu melafalkan nama
belakangnya dengan aksen perancis yang kental. Membuat Nara kaget dan terdiam
sesaat sebelum menjawab.
“Nara... Naira Taralano, nama anda terdengar seperti musim
dingin.” Nara tersenyum ramah.
“memang artinya musim dingin.” Seseorang memotong
pembicaraan mereka dan ikut mengulurkan tangan pada Nara. “ Joe.... Jonathan
Hiver” seorang pria muda bermata biru berlian itu tersenyum ramah. Nara
mengulangi namanya saat menjabat tangan orang di depannya.
“dia memang dari perancis, kami bertemu saat mengunjungi
musee de louvre. “ kata mrs.Hiver sambil menggandeng lengan suaminya. Sementara
Nara hanya tersenyum manis menanggapi rasa senang keduanya.
“ayo, kita segera memulai makan malamnya.” Mrs. Hiver
menarik tangan Nara dan membawanya ke meja makan. Semua mengambil posisi, meja
yang berbentuk lonjong itu menyisakan satu kursi kosong tepat disebelah
mr.Hiver.
“kita menunggu satu orang lagi.” kata mrs.Hiver sebelum
memulai makan malam. ‘satu orang lagi?’ batin Nara. Mereka semua berbincang
selama menunggu satu orang itu, baru lima menit kemudian seseorang dengan
tergesa-gesa lalu berhenti tepat di samping Nara.
Dia berdiri tegak sambil menyibakkan rambutnya yang basah,
memunculkan efek segar pada wajahnya.
“kanapa rambutmu basah sayang?” tanya mrs.Hiver padanya. Dia
adalah anak Mr dan Mrs.Hiver.
“aku baru saja keramas bu... sepertinya burung ditaman baru
itu sedikit sensitif denganku.” Semua tertawa kecuali Nara, dia hanya tersenyum
mendengar penjelasan laki-laki itu.
Mrs.Hiver mengenalkan Nara pada laki-laki itu dan dengan
ramah pula laki-laki itu mengulurkan tangan. Nara yang mulanya duduk langsung
berdiri dan menjabat tangan di depannya.
“Naira Taralano...” kata Nara dengan sopan. “ Raino Hiver.
Panggil saja aku Rhey, atau Reno.. terserah kau saja.” Reno tersenyum pada
Nara. Nara hanya diam menatap matanya.
Mata abu-abu Reno yang hangat. Seakan menghangatkan udara
disekitar mereka. Terlalu lama mereka bertatapan, sampai mrs.Hiver harus
berdeham untuk menyadarkan mereka. Nara dan Reno yang malu langsung salah
tingkah dan segera duduk. Makan malam penuh dengan canda tawa. Berbeda dengan
presepsi Nara, ternyata Reno adalah orang yang humoris, dia banyak andil untuk membuat
orang-orang tertawa. Untuk makan malam saja, mereka menghabiskan waktu satu
jam. Setelah semua menyelesaikan makan malamnya, mereka sibuk sendiri-sendiri, Ita
dan Iwan jelas berbincang-bincang dengan Mr dan Mrs.Hiver, dan mereka menuju salah
satu bangku taman, sementara Putri benar-benar dititipkan padanya. Karena tak
tahu apa yang harus dilakukan, Nara mengajak Putri duduk di ayunan kayu di
bagian kanan taman dan mengayunkannya dengan pelan. Nara bersyukur Putri
membawa bonekanya, sehingga dia tidak perlu susah-susah mencarikan sesuatu yang
bisa membuatnya diam.
“kalau saja aku tidak ikut makan malam ini, mungkin aku tak
akan merasa bosan seperti ini Put” Nara bergumam sambil menatap langit yang tak
berbintang. Nara langsung menoleh ketika seseorang menempelkan sebuah gelas
yang terasa dingin di pipinya. Reno menyunggingkan senyum sambil mengulurkan
gelas berisi sirup itu.
“kenapa kau bosan? Padahal kau bersama seorang bidadari
cantik seperti ini.” Reno memegang bagian bawah kursi ayunan dan
menghentikannya lalu berlutut di depan Putri.
“halo... gadis cantik... sedang apa...?” tanyanya lembut.
“main boneka om... om mau ikut Putli main? Om yang jadi pangelan..” kata Putri
terbata dan cadel. Tanpa sadar Nara tertawa lirih mendengar panggilan itu. Reno
yang mendengarnya langsung menoleh dan mengangkat alis.
“apa?? Bukankah wajar anak umur segini memanggil semua
laki-laki om?” Reno kembali menghadap Putri. “cantik... jangan panggil aku Om,
aku masih muda.. panggil kak reno. Oke??” Reno mengacungkan jempolnya, dan
putri langsung setuju.
“see?? So easy.” Reno mengedipkan sebelah matanya pada Nara
yang membuat Nara terdiam. Dia langsung mengangkat putri dan memangkunya.
Lama sekali mereka bermain, terkadang Reno menceritakan hal
hal lucu yang membuat Putri maupun Nara tertawa. Detik-detik yang entah kenapa
Nara bisa menyukai anak kecil, tak biasanya Nara ikut bermain dan tertawa
senyaman ini dengan anak-anak semenjak 6 tahun lalu.
“kenapa kau bosan??” tanya reno sambil mengelus rambut Putri
yang sudah tertidur di pangkuannya. “entahlah.. mungkin karena aku tidak
terlalu menyukai anak kecil. Tak sepertimu. I think.”
“what??? Kau tidak menyukai anak kecil yang lucu begitu?”
Nara hanya tersenyum masam mendengar pernyataan Reno. Ingatannya mulai
merajalela mengingat segala hal. “kau punya kenangan tersendiri dengan anak
kecil?”
Pertanyaan Reno menyadarkan Nara dari lamunan, sepertinya
Reno bisa melihat kesedihannya. “ahh....tidak.. tidak ada.. kadang mereka
menjadi sangat menjengkelkan.” Nara tersenyum.
“kau bisa membohongi orang lain, tapi kau tak bisa membohongiku.”
Reno menatap Nara dengan tatapan yang tajam. Nara langsung memalingkan wajah
seketika.
“aku tidak bohong.” Jawab Nara singkat. “oh ya...
ngomong-ngomong rumahmu, seperti gaya neo vernakuler” Nara mencoba mengalihkan
pembicaraan. “kenapa kau berfikir seperti itu?” tanya Reno penasaran.
“aku pernah melihat yang seperti ini dulu, penggunaan batu
bata di beberapa tempat, warna yang kuat dan kontras.”
“perpaduan antara modern dan tradisional, batu bata yang
lebih condong pada arsitektur barat.” Tambah Reno. “ ayahku yang merancang
ini.” Reno tersenyum mengakhiri penjelasannya yang diikuti angguan mengerti
Nara.
“baiklah.... kurasa
sudah saatnya pulang.” Nara ikut mengakhiri pembicaraan malam ini.
Reno mengangkat dan membawa Putri dalam pelukannya.
Nara mengikuti Reno masuk ke dalam
rumah. Dia bahkan tidak sadar kalau keempat orang tadi sudah masuk duluan
kedalam.
Reno dan Nara masuk dengan tersenyum, sepertinya sekali lagi
Reno membuat suatu lelucon. Keempat orang tadi ternyata sudah menunggu di ruang
tengah. Sepertinya mereka sedang memperhatikan gambar di kamera. Gambar Reno
dan Nara saat di taman sedang bercanda ria. Ternyata mereka mengabadikan momen
itu. Mereka berempat yang melihat Nara dan Reno langsung tersenyum dan berdiri
bersiap untuk pulang.
Reno mengangkat tubuh putri dan Nara mengambil alih Putri
yang sedang tertidur. Dan sekali lagi keempat orang tua itu mengabadikan momen
mereka. Reno melepaskan jaketnya dan menyelimutkannya pada Putri dan Nara tidak
sempat berfikir kalau jaket itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.
***************
“selamat datang di perusahaan kami, aku akan menunggu hasil
karyamu 3 hari lagi.” Mr.Anggara menjabat tangan Nara. “terima kasih pak.” Nara
segera pamit dan pulang kerumah. Memulai pekerjaannya mulai hari ini.
Mr.Anggara memberinya tugas yang cukup berat diawal
pekerjaannya. Kakaknya juga sudah menyiapkan kamar khusus untuk Nara, kamar
beserta meja kerjanya. Sebenarnya tidak seberat itu, hanya permintaan
Mr.Anggara yang agak rumit itulah yang membuat Nara harus memutar otak dua
kali.
Sudah dua hari ini Nara berada di dalam kamar dan hanya
keluar jika ada keperluan, sampai akhirnya Ita menghampirinya dan mengajaknya
makan malam. Tapi Nara menolaknya, akhirnya Ita menyampaikan maksudnya. Dia
meminta Nara mengantarkan makanan kerumah Mr.Hiver. sebenarnya Nara ingin
menolak, tapi karena pekerjaannya memang sudah selesai dan Ita berhasil membujuknya lagi. ‘aku juga butuh
refreshing’ batin Nara. Nara mengangguk, dan segera mengambil jaketnya, tanpa
sengaja dia melihat jaket Reno yang tergantung dibalik pintu. Nara mengambilnya
dan memasukkannya kedalam tas. Karena Iwan belum pulang, dengan terpaksa Nara
harus memakai taksi untuk mengantarkannya ke rumah Mr.Hiver.
Taksi hanya berhenti sampai di persimpangan jalan yang
jaraknya sekitar 300 meter dari rumah MR.Hiver karena ban taxi itu bocor,
karena dirasa jaraknya cukup dekat, Nara memutuskan untuk berjalan kaki.. Cukup
jauh ternyata, Nara melewati satu warung kecil ramai pengunjung. Sepertinya
mulai dari kopi, gorengan, dan yang lainnya. Terdengar gemuruh suara
orang-orang yang kalah ketika bermain kartu. Nara yang mulai merasa khawatir
segera merapatkan jaketnya dan memegang erat tali tasnya.
“mau kemana neng malem-malem?” tanya salah satu pengunjung
warung sedikit berteriak. Nara berhenti sejenak dan menjawab.
“mau ke perumahan depan situ pak.” Nara memaksakan suara
yang tenang meski hatinya tidak. “saya anter neng.” Kata bapak-bapak itu lagi
sembari berdiri. “tidak pak... tidak usah... sudah dekat kok.... “ Nara menaruh
tangannya kedepan. “terimakasih... permisi pak...” tanpa menunggu jawaban, Nara
langsung bergegas pergi dari situ dengan langkah santai. Tapi dia tahu ada yang mengikutinya di belakang.
Karena semakin panik, langkah Nara semakin lama semakin cepat, tapi dirasakan
pula langkah dibelakangnya juga semakin cepat.
Di saat seperti ini jarak 100 meter sepertinya sudah menjadi
berlipat-lipat jauhnya. Dia melihat rumah Mr.Hiver, dan dia juga melihat ada
seseorang sedang bersandar di depan gerbang rumah Mr.Hiver. ada kelegaan muncul
di hati Nara, tapi belum sempat mulutnya memanggil Reno, tangannya sudah
dicengkeram oleh tangan seseorang. Nara tersentak dan berbalik, sekarang dia
sudah di hadang 2 orang yang tadi ada di warung.
“mau kemana neng, abang anter kok gak mau..” kata pria
pertama. “atau sama abang aja neng.” Pria kedua ikut menimpali sambil membelai
rambut Nara. Nara hanya bisa panik dan ketakutan mencoba menepis tangan mereka,
semerbak bau alkohol dari mulut kedua pria itu semakin membuat Nara pusing.
Nara melihat sosok Reno masih ada di depan gerbang.
“Re...” belum selesai Nara berteriak, mulutnya sudah dibekap
dan tangannya di plintir ke belakang oleh pria pertama. Pria kedua berbicara
tepat di telinga Nara. “jangan teriak jika tak ingin menyakiti dirimu sendiri.”
Napas Nara semakin menderu, sesekali dia melirik kearah
Reno, sosok itu menegakkan tubuh, bersiap berbalik ke dalam rumah.
Kesempatannya untuk selamat semakin tipis, Nara meronta melepaskan diri. Tepat
saat Reno akan memasuki rumah, Nara berhasil membuat pria pertama melepaskan
bekapannya dengan gigitan Nara.
“Reno.... tolong....” Nara berteriak sekuat tenaga, berharap
suaranya bisa terdengar jelas sampai jarak 100 meter.
Tak ada respon, yang ada malah tanganya semakin diplintir
keatas yang membuat Nara semakin kesakitan dan menjerit dalam bekapan. Dia
melirik kearah Reno. Sepertinya suaranya tak sampai, Reno berbalik kearah
rumah. Harapan terakhirnya menghilang. Reno....tolong....
Nara meneteskan air matanya.
Nara digiring kembali ke warung tadi, tapi baru beberapa
meter, pria di belakangnya tiba-tiba terjatuh tepat dihadapan Nara, membuat
pria pertama yang membekap Nara menoleh. Melihat temannya tersungkur karena
dihajar, dia langsung melepaskan Nara dan berbalik menghadap Reno. Pria itu
mulai menyerang Reno membabi buta. Pria yang tadi tersungkur juga mulai tegak
berdiri dan ikut menghajar Reno. Setelah beberapa kali pukulan, Reno berhasil
menghindar. Dia akhirnya lengah dan berhasil di pukul oleh pria kedua dari
belakang. Reno langsung tersungkur. Saat pukulan kedua akan dieksekusi, Nara
langsung berlari dan menghadang tubuh Reno. Giliran Nara yang tersungkur, lutut
kanannya menyentuh tanah, dan pria itu menendang perut Nara sampai Nara
terdorong kesamping.
Kepala Nara terbentur trotoar yang ada di pinggir jalan,
membuatnya langsung tak sadarkan diri. Sementara pria pertama masih kesulitan
untuk bangun, Reno sudah akan menuju Nara, tapi pria kedua yang membawa tongkat
itu menendang bahu Reno sampai Reno telentang menahan sakit, pria kedua akan
menghajar Reno lagi, tongkat yang dia pegang tiba-tiba tak bisa digerakkan.
Seseorang menahannya dari belakang. Mr.Hiver langsung menendang pria itu hingga
terjatuh. Terjadi perkelahian hebat disana. Sementara Mr.Hiver menghajar dua
orang itu, Reno segera bangun sambil menahan rasa sakit, berjalan tertatih
kearah Nara, mengangkat tubuhnya dan menyandarkannya di dadanya sambil sesekali
memanggil namanya.
Mr.Hiver mengalahkan kedua pria itu. keduanya terkapar di
jalan tepat di depan Mr.Hiver.
“apa yang dulu sudah saya bilang, jangan pernah mengganggu keluarga
Hiver. Ataupun orang-orang disini”
“maaf... kami tak tahu kalau dia keluarga Hiver. Kami juga
tak pernah tau dia disini, jadi kami kira bukan warga sini.” Kata pria pertama
sambil memegangi ujung bibirnya yang memerah. Tanpa banyak kata, Mr.Hiver
menyepak pria itu, membuat sudut bibirnya yang merah langsung mengeluarkan
darah. “pergi dari sini, dan jangan pernah kembali menginjakkan kaki disini.”
Kedua pria itu langsung bergegas berdiri dan lari terbirit-birit meninggalkan
Mr.Hiver.
“bagaimana??” tanya Mr.Hiver pada Reno. “ditangani segera”.
Reno langsung mengangkat tubuh Nara, sementara Mr.Hiver langsung berlari ke
dalam rumah. Mereka segera melaju ke rumah sakit.
“bagaimana keadaan Nara??” Ita segera menghampiri Reno yang
menunggu di depan ruang operasi bersama Mr dan Mrs Hiver. “operasi belum
selesai. Ada pendarahan ringan di kepala Nara karena benturan tadi. Retak di
punggungnya karena tadi sempat terkena pukulan tongkat saat menyelamatkanku.
Dan kukira ada lebam di perutnya, karena tadi sempat kena tendang.” Reno
berdiri begitu Ita dan Iwan datang. Setelah mendengar penjelasan Reno, Ita
langsung lemas dan terduduk di kursi yang tadi di tempati Reno.
Reno berlutut di depan Ita. “aku minta maaf... aku sangat
menyesal. Setelah kakak meneleponku, meberitahu kalau Nara akan datang, aku
memperkirakan kedatangannya. Menunggunya di depan rumah karena aku takut dia
lupa jalannya. Waktu aku akan kembali ke dalam, aku mendengar Nara berteriak.
Saat kulihat ada dua orang yang menghadangnya, aku langsung menghubungi ayah
melalui bel pintu. Tapi semua diluar dugaan.” Reno memijat pelipisnya dan
menggelengkan kepala menyesal.
“sudahlah.... itu juga salah kakak... yang penting sekarang
kita tunggu kabar dari dokter.”
Satu jam mereka semua menunggu lampu tanda bahwa operasi
sudah selesai menyala. Dan saat sudah menyala, semua berdiri dan menghampiri
dokter yang barusaja membuka pintu.
“bagaimana keadaannya dok??”
Dokter menjelaskan kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan,
masa kritis sudah terlewati, tak ada tanda-tanda bahwa Nara kehilangan ingatan.
Tapi karena darah yang dikeluarkan Nara terlalu banyak, kemungkinan Nara baru
bisa sadar seminggu kedepan. Meski seperti itu, Nara masih bisa mendengar dan
merasakan hal-hal disekitarnya, sehingga dokter menyarankan untuk terus
berkomunikasi dan memotivasi Nara.
Keesokan paginya Nara sudah dipindahkan ke kamar rawat,
karena Mr dan Mrs.Hiver harus bekerja, jadi tinggal Ita, Iwan, dan Reno yang di
rumah sakit, sementara Putri diurus oleh mbok ijah. Saat mereka sedang
berbincang di dekat brangkar Nara, sekaligus mengajak Nara berkomunikasi,
tiba-tiba ponsel Ita berdering. Ita melihat layar ponselnya dan berkata lirih
kearah suaminya. “Mr. Anggara” Ita langsung bangkit dan keluar kamar. Lima
menit penuh berlalu, pintu terbuka dan Ita masuk kembali.
“Nara tidak bisa lulus jika melewati deadline.” Raut cemas
tergambar di wajah Ita. “kau tidak menjelaskan keadaan Nara seperti apa.” Iwan
sampai berdiri saking marahnya. “sudah... dan dia hanya meminta agar tepat
deadlinenya. Kalau tidak Nara tak akan diterima” semua kebingungan, Iwan
mondar-mandir di dalam kamar, sementara Reno hanya menunduk ikut memikirkan
jalan keluarnya. Tapi semuanya menoleh ketika kardiogram milik Alia melambat.
Reno yang pertama menyadari dan paling dekat dengan alarm langsung menekannya
kuat-kuat dan berkali-kali. Tak lama setelah itu dokter masuk dan memeriksa
Nara dan langsung membawanya lagi ke ruang ICU.
“tekanan darah Nara menurun lagi, detak jantungnya juga. Apa
kalian mengatakan sesuatu tentang Nara.” Dokter keluar dari ruang ICU dan
berbicara pada ketiga orang tadi. “sepertinya tidak Dok, malah tadi kami
berbicara tentang rencana perayaan kantor baru kami.” Kata Ita.
“Mr. Anggara. Apa dia meminta Nara mengumpulkan sesuatu hari
ini?” tanya Reno menggebu. “ahh... iya.... Nara diminta mengumpulkan desain
rumah sebagai tes menjadi pegawai disana. Tapi deadlinenya sudah lewat hampir 3
jam yang lalu.” Reno tercengang mendengar jawaban Ita.
Reno juga menjadi pegawai disalah satu kantor Mr. Anggara
sejak satu bulan yang lalu, dan diakuinya Mr.Anggara orang yang sangat
disiplin, cerdas, dan bijak. “dimana kamar Nara??” tanya Reno seketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar